Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengeluhkan proses perizinan di sektor minyak dan gas bumi (migas). Salah satu keluhannya adalah lamanya mengurus izin karena harus melibatkan beberapa kementerian.
Menurut Senior Vice President Policy, Government & Public Affairs Chevron Indonesia Yanto Sianipar, lamanya mengurus izin ini bisa berdampak pada investasi. Investor akan sulit memastikan keberlanjutan investasinya di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah harus memudahkan investor dalam mengurus perizinan, terutama lintas Kementerian. “Berapa banyak waktu kami habis hanya untuk membereskan masa-masa yang tidak perlu dan tidak memberikan impact langsung pada produksi," kata dia di Jakarta, Rabu (27/9).
Selain perizinan, Yanto juga menyoroti mengenai proses audit di bisnis migas. Proses audit ini akan memakan waktu investor. Padahal beberapa temuan hasil audit tersebut juga tidak berdasar.
Permasalahan izin ini tidak hanya menjadi sorotan dari Chevron, tapi juga perusahaan asal Inggris BP. Vice President Sales and Commercial BP Budi Aguswidjaja mengusulkan agar perizinan di sektor migas tidak disamakan dengan industri lainnya.
Menurut Budi, sektor migas harus beda karena langsung berkontrak dengan negara. ”Seharusnya kalau berkontrak dengan negara perlakuannya dibedakan," kata dia.
Menanggapi keluhan itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial mengaku sudah berusaha memangkas perizinan. Di Kementerian ESDM dan SKK Migas saat ini hanya tersedia enam izin, dari semula 140 izin.
Mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 29 tahun 2017, enam izin itu terdiri dari dua sektor hilir dan sisanya sektor hulu. Izin hulu migas terdiri dari izin survei umum dan pemanfaatan data migas dan empat izin hilir migas seperti izin pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan niaga.
Namun memang masih ada beberapa kendala terhadap izin-izin yang ada di Kementerian lain. “Kami di Ditjen Migas, SKK Migas sebenarnya agresif menurunkan perizinan, memang problemnya adalah lintas kementerian dan lembaga," kata Ego.