Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti adanya risiko dalam keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirimnya kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Berdasarkan salinan surat yang diperoleh Katadata, surat tersebut bersifat penting dan segera. Adapun hal dalam surat bertanggal 19 September 2017 tersebut yakni Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Surat bernomor S-781/MK.08/2017 itu ditembuskan juga kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Direktur Utama PLN dan Dewan Komisaris PLN. Surat tersebut ditandatangani dan berstempel Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Ada lima poin yang disampaikan dalam surat tersebut, yakni:
1. Kinerja PLN ditinjau dari sisi keuangan terus menurun seiring semakin besarnya kewajiban untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman. Tapi kondisi ini tidak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.
Hal ini menyebabkan dalam tiga tahun terakhir, Kementerian Keuangan harus mengajukan permintaaan waiver kepada pemberi pinjaman (lender) PLN. Sebab, terlanggarnya kewajiban pemenuhan covenant PLN dalam perjanjian pinjaman untuk menghindari cross default utang PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.
2. Keterbatasan dana internal PLN untuk melakukan investasi dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah, menyebabkan pendanaan PLN bergantung kepada pinjaman, baik melalui pinjaman kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, maupun dari lembaga keuangan internasional.
3. Berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Sementara itu pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target dan adanya kebijakan pemerintah meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL). Kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.
4. Dengan mempertimbangkan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan pelanggan dan subsidi listrik dari pemerintah, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan regulasi yang mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik.
Selain itu, Sri Mulyani mengharapkan Jonan dan Rini dapat mendorong PLN melakukan efisiensi biaya operasi (utamanya energi primer) guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang.
5. Terkait dengan penugasan program 35 GW, Sri Mulyani menilai perlu dilakukan penyesuaian target penyelesaian megaproyek tersebut. Hal ini dengan memperhatikan ketidakmampuan PLN memenuhi pendanaan investasi dari arus kas operasi, tingginya profil utang jatuh tempo, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN). Langkah tersebut bertujuan menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan masih mengkonsolidasikan surat tersebut. Ia pun memberikan tiga poin catatan terkait persoalan PLN itu.
Pertama, PLN melakukan pengendalian terhadap parameter pertumbuhan penjualan listrik, volume penjualan dan bauran energi. “Target di 2017 bahwa pangsa pasar primer BBM pada pembangkit listrik sebesar 4,66%,” kata dia kepada Katadata, Selasa (26/9).
Kedua, komponen perhitungan Biaya Pokok Penyediaan Listrik (BPP) dan biaya yang tidak boleh dibebankan kepada konsumen telah dirinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 tahun 2017. Hal itu juga sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.
Ketiga, Kementerian ESDM telah mengeluarkan beberapa regulasi agar bisnis ketenagalistrikan efisien dan mendapatkan harga yang wajar. Aturan itu yakni Peraturan Menteri Nomor 49 tahun 2017, Peraturan Menteri Nomor 45 tahun 2017, Peraturan Menteri Nomor 50 tahun 2017, Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2017 dan Peraturan Menteri Nomor 24 tahun 2017.