Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) mulai membahas peraturan mengenai pajak yang akan diterapkan pada kontrak gross split. Peraturan ini untuk memberi kepastian pelaku usaha dalam berinvestasi menggunakan skema baru tersebut.

Informasi yang diperoleh Katadata, pembahasan tersebut dilakukan di Kementerian Keuangan, Selasa (12/9) lalu. Namun, pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, melainkan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo beserta stafnya. “Belum bertemu Menteri,” kata dia dikutip Rabu (13/9).

(Baca: Investor Migas Ragu Pakai Skema Gross Split Tanpa Kejelasan Pajak)

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo belum berkomentar mengenai pertemuan tersebut. Hingga berita diturunkan, pesan yang disampaikan melalui Whatsapp, belum terbalas.

Usai acara sosialisasi aturan gross split, Jumat (8/9) lalu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memang mengatakan kalau IPA dan Kementerian Keuangan bertemu Selasa (12/9). Pertemuan itu untuk membahas mengenai mekanisme pajak pada kontrak gross split.

Menurut Arcandra, IPA menginginkan mekanisme pajak untuk kontrak gross split sebanding dengan yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017. Aturan ini merupakan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas.

“Aturan perpajakan itu kan domainnya Kementerian Keuangan. IPA ingin aturan perpajakan itu comparable dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017,” ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta.

(Baca: Polesan Akhir Regulasi untuk Memikat Investasi Hulu Migas)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017, kontraktor migas bisa mendapatkan fasilitas pembebasan pajak pungutan bea masuk atas impor barang pada tahap eksplorasi. Selain itu, ada empat kriteria yang tidak dipungut pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. 

Pertama, perolehan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu. Kedua, impor barang kena pajak tertentu.

Ketiga pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Keempat, pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari Iuar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.

Fasilitas lainnya adalah tidak dilakukan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan Bea Masuk. Kemudian ada pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 100% dari yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) selama masa eksplorasi.

(Baca: Aturan Baru, Kontraktor Migas Nikmati Insentif Pajak Sejak Eksplorasi)

Sementara pada tahap eksploitasi juga ada beberapa fasilitas pajak yang sama. Hanya fasilitas tersebut diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan keekonomian proyek dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).