Dalam sepekan terakhir, harga minyak dunia berada dalam tren kenaikan. Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI), Senin kemarin, bahkan berhasil bertahan di level US$ 50 per barel. Terakhir kali, harga WTI menyentuh level US$ 50 per barel pada 24 Mei lalu.
Pada Selasa ini (1/8), harga minyak jenis WTI sebesar US$ 50,24 per barel atau melonjak 5% dibandingkan pekan lalu yang sebesar US$ 47,89 per barel. Begitu pula dengan harga Brent yang naik 5% menjadi US$ 52,76 per barel.
(Baca: RAPBNP 2017: Lifting Migas Tetap, ICP Naik Jadi US$ 46 per Barel)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga minyak naik dalam sepekan terakhir. Salah satunya adalah sanksi Amerika Serikat terhadap Venezuela. Sanksi ini bisa memicu pembatasan impor dari negara tersebut. Adapun rata-rata produksi Venezuela sekitar 2 juta barel per hari.
Faktor lainnya adalah akan adanya pertemuan antara OPEC, termasuk Rusia dan Arab Saudi, pekan depan. Pertemuan itu akan membahas mengenai kepatuhan negara-negara tersebut untuk mengurangi produksi.
Sebelumnya, Arab Saudi juga menyatakan akan membatasi ekspor minyak mentahnya hanya 6,6 juta barel per hari di bulan Agustus. Tahun lalu negara ini bisa mengekspor hingga 7,6 juta barel per hari.
Meski begitu, tren kenaikan harga minyak mentah ini diperkirakan hanya berlangsung sementara. Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, fluktuasi harga minyak masih stagnan di kisaran US$ 45 sampai 50 per barel. Penyebabnya adalah secara fundamental masih terjadi kelebihan pasokan (over supply).
(Baca: Negara Arab Minta Indonesia Aktif Lagi di OPEC Sebagai Penyeimbang)
“Tahun ini produksi minyak serpih Amerika Serikat (shale AS) juga akan mulai naik lagi,” kata dia kepada Katadata, Selasa (1/8).
Menurut Pri, jika harga masih stabil dikisaran US$ 45 hingga US$ 50 per barel, maka pemerintah bisa menjalankan kebijakan harga-harga energi seperti tarif listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sesuai rencana. Artinya tidak perlu ada kenaikan.
(Baca: Subsidi Energi Berisiko Bengkak, Utang ke Pertamina Bisa Bertambah)
Namun, pemerintah harus tetap mewaspadai potensi pembengkakan dari listrik dan elpiji tiga kilogram. Apalagi menurut Pri, subsidi energi yang mencapai Rp 89,9 triliun ini termasuk mepet dan berpotensi terlampaui. “Mungkin (terlampaui) tidak besar yakni di bawah Rp 5 triliun,” ujar Pri.