Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Amerika Serikat ExxonMobil memutuskan tidak melanjutkan rencana investasi di Blok East Natuna. Hal ini sudah disampaikan melalui surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Menurut Jonan, dalam surat tersebut Exxon menyatakan tidak akan terlibat dalam investasi, melainkan akan mendukung dari segi teknologi. “Exxon mengirimkan surat ke kami bahwa mereka tidak ada rencana meneruskan investasi di East Natuna,” kata dia di Istana, Jakarta, Senin (17/7).
(Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Ada beberapa pertimbangan perusahaan tersebut tidak melanjutkan investasinya di blok tersebut. Salah satunya adalah tingginya kadar karbon dioksida yang terkandung dalam gas di East Natuna, hingga mencapai 72%.
Dengan karbon dioksida sebesar itu, mereka khawatir, operasional blok tersebut membutuhkan dana jumbo. “Biaya produksinya dikhawatirkan tidak menutupi dari harga gas saat ini,” ujar Jonan.
ExxonMobil sebenarnya pernah menjadi bagian dari konsorsium East Natuna. Konsorsium ini dipimpin oleh PT Pertamina (Persero). Selain Exxon, ada perusahaan migas asal Thailand, PTT EP yang menjadi anggota konsorsium.
Melihat sejarahnya, blok ini pertama kali dieksplorasi oleh Agip pada 1973. Meski sudah dieksplorasi sejak 44 tahun lalu, Blok East Natuna belum memiliki kontrak.
Saat ini Pertamina sedang menyiapkan kajian market dan teknologi mengenai Blok East Natuna. Kajian ini penting untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan masuk dalam kontrak tersebut. Targetnya kajian itu selesai tahun ini. (Baca: Negosiasi Bagi Hasil Blok East Natuna Ditargetkan Rampung Dua Bulan)
Dalam menyusun kontrak, pemerintah berharap blok ini menggunakan skema gross split. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang mengatur skema anyar itu.