Proses negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia terus bergulir. Pemerintah enggan berkompromi mengenai masa perpanjangan operasional perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Alhasil, Freeport pun dikabarkan sepakat mengikuti ketetapan pemerintah. 

Perpanjangan kontrak dilakukan dua tahap, masing-masing tahap memiliki waktu 10 tahun. Adapun kontrak Freeport berakhir pada 2021. Ini artinya, Freeport bisa mengajukan perpanjangan kontrak hingga 2031. Sebelumnya, perusahaan menginginkan perpanjangan kontrak langsung hingga 2041.

"Perpanjangan itu bisa dua kali setiap 10 (tahun)," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, usai rapat membahas hasil negosiasi terkini dengan Freeport di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (4/7). Dengan begitu, pemerintah bisa melakukan evaluasi untuk perpanjangan Freeport setiap satu dasawarsa.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno juga membenarkan soal kesepakatan tersebut. "Iya (dua kali 10 tahun)," ucapnya. Menurut dia, hal itu sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (Baca juga: Adu Kuat Jonan dan Freeport Soal Perpanjangan Operasional)

Perpanjangan masa operasional Freeport mengikuti Pasal 83 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena sudah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari sebelumnya kontrak.

Pasal tersebut menyebutkan jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun.

Perpanjangan itu juga masuk dalam klausul kontrak Freeport yang ditandantangani 1991 oleh Menteri Pertambangan saat itu Ginandjar Kartasasmita. Dalam pasal 31, perusahaan akan diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun atas jangka waktu tersebut berturut-turut, dengan syarat disetujui pemerintah.

Selain soal masa operasional, Freeport juga sudah sepakat membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 terkait larangan ekspor mineral mentah dan kewajiban perusahaan tambang.

Dengan demikian, tersisa dua persoalan lain yang masih akan dibahas dalam negosiasi antara pemerintah dengan Freeport. Persoalan yang dimaksud yakni terkait stabilitas investasi dan divestasi. Rencananya, bakal ada aturan khusus yang diterbitkan pemerintah soal pajak.

"Belum disepakati dalam rapat (bentuk aturan yang akan diterbitkan), tetapi akan disiapkan," ujar Fajar. Peraturan yang dimaksud bakal berbentuk peraturan pemerintah.

Persoalan stabilitas investasi ini terkait dengan proses negosiasi perubahan status kontrak pertambangan Freeport dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Freeport menginginkan pemungutan perpajakan dalam IUPK menggunakan sistem nail down. Artinya sepanjang masa berlaku izin, perusahaan tidak dipungut pajak selain yang ada di kesepakatan awal. Sementara pada sistem IUPK berlaku sistem prevailing. Jadi, pajak bisa berubah mengikuti aturan yang ada.

"Itu belum disepakati," tutur Fajar. "Kalau bea keluar, prevailing sekarang. Cuma ke depannya belum disepakati."

Adapun, pemerintah memberikan masa transisi selama enam bulan kepada Freeport untuk memakai IUPK. Selama masa transisi itu perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini dapat kembali menjadi KK jika tidak berkenan dengan IUPK.

Freeport juga belum menyepakati kewajiban untuk melepas saham (divestasi) sebesar 51 persen. Namun, Fajar menekankan ketentuan itu wajib dilaksanakan sebab sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan mineral dan batubara. "Wajib itu kalau 51 persen enggak bisa ditawar," ujar dia.