Pemerintah perlu membuka ruang negosiasi mengenai besaran bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) dalam skema gross split. Tujuannya agar investor tertarik menggunakan skema baru tersebut.
Menurut pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rachmanto, besaran bagi hasil dinilai menjadi salah satu penyebab tak menariknya sistem kerja sama gross split. Alasannya, sistem itu terlalu kaku dan membuat kontraktor tidak memiliki pilihan.
(Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)
Sebagai gambaran, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 tentang skema baru kontrak bagi hasil gross split memuat perhitungan bagi hasil terdiri dari tiga indikator, yakni komponen dasar (base split), komponen variabel, dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif ini bisa menambah dan mengurangi komponen dasar.
Besaran komponen dasar untuk bagi hasil minyak bumi adalah 57 persen untuk negara, sedangkan 43 persen menjadi bagian kontraktor. Sedangkan untuk gas, negara memperoleh 52 persen dan sisanya kontraktor.
Pri Agung mengatakan, formula itu lebih menguntungkan pemerintah. Apalagi kontraktor harus membayar pajak lain-lain. “Solusinya jangan dibikin kaku, tolong base split bisa dinegosiasi,'' kata Pri di Jakarta, Selasa (16/5). (Baca: Medco Anggap Sistem Gross Split Tak Ekonomis di Beberapa Bloknya)
Agar menarik, besaran bagi hasil untuk pemerintah hanya sekitar 30% sampai 35%. Meski lebih kecil, pemerintah akan mendapatkan pajak dari kontraktor yang akan menjadi bagian dari penerimaan negara.
Selain itu, Pri juga mengkritisi mengenai kepemilikan aset dalam skema gross split. Barang operasi yang sudah dibeli oleh kontraktor, seharusnya tidak menjadi barang milik negara melainkan tetap menjadi kepunyaan kontraktor.
Pri juga meminta agar pemerintah menjadikan gross split sebuah pilihan bukan kewajiban. Ini karena setiap lapangan memiliki karakteristik yang berbeda. Di lapangan yang sudah berproduksi, skema ini bisa digunakan.
(Baca: Chevron Diminta Buktikan Gross Split Tak Ekonomis Buat Blok Rokan)
Di sisi lain, untuk lapangan yang baru belum tentu gross split bisa diterapkan. Sehingga pemerintah menjadikan skema itu opsi, bukan kewajiban. ''Kalau lapangan masih mentah, belum tau ada cadangan atau tidak dan risiko tinggi, silahkan ditawarkan,'' kata Pri Agung.