Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan aturan baru mengenai pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada pemegang Kontrak Karya (KK). Alhasil, dengan mengantongi IUPK "sementara", perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia bisa mengekspor konsentrat meski belum membangun pabrik pengolahan (smelter).
Ketentuan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2017 dan mulai berlaku sejak diundangkan 31 Maret 2017. Peraturan ini merevisi Permen ESDM Nomor 5 tahun 2017 khususnya Pasal 19 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.
(Baca: Sepakat Coba Izin Baru, Freeport Bisa Ekspor Hingga Oktober)
Dalam aturan anyar ini, perusahaan pertambangan bisa mengajukan permohonan IUPK kepada Menteri ESDM. Selanjutnya, persetujuan menteri melalui dua cara.
Pertama, memberikan IUPK operasi produksi hingga berakhirnya jangka waktu kontrak karya. Wilayah kontrak karya akan menjadi WIUPK operasi produksi sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Kedua, pemberian IUPK dalam jangka waktu tertentu untuk kelanjutan operasi. Jadi, ketika IUPK diterbitkan, perusahaan tambang masih dapat berpegang pada semua klausul dalam kontrak karya serta dokumen kesepakatan lainnya dengan pemerintah.
Setelah jangka waktu itu berakhir dan sepakat menerima lUPK, maka kontrak karya serta dokumen kesepakatan lainnya tidak lagi berlaku. Namun, jika tidak tercapai kesepakatan IUPK selama masa waktu itu maka pengusahaan pertambangan kembali menggunakan kontrak karya hingga masa waktunya berakhir.
Yang menarik, aturan anyar ini tidak memuat batasan waktu "uji coba" IUPK tersebut. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yang menyatakan kontrak karya berakhir bersamaan dengan diterbitkannya IUPK operasi produksi.
Koordinator Koalisasi Masyarakat Sipil Ahmad Redi menganggap perubahan Peraturan Menteri ESDM 5 Tahun 2017 membuktikan pemerintah gagal bernegosiasi dengan Freeport. “Ini menjadi bukti bahwa telah terjadi hasil negosiasinya win-lose solution,” kata dia kepada Katadata, Senin (10/4).
(Baca: Langgar Kontrak, Indonesia Bisa Kalah Lawan Freeport di Arbitrase)
Menurut dia, tradisi kalahnya pemerintah atas kehendak Freeport ini telah terjadi sejak ruang negosiasi muncul 2009 melalui ketentuan Pasal 169 huruf b UU Minerba. Sejak saat itu, Freeport tak pernah mau mengikuti kebijakan pemerintah, sementara pemerintah selalu taat pada perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Perubahan peraturan yang mengakomodasi kemauan Freeport dengan memberikan IUPK tanpa harus mengakhiri KK ini juga tidak dapat dibenarkan dalam rezim UU Minerba. “Ini cidera hukum. Gertak sambal arbitrase Freeport terbukti membuat takut Menteri Jonan,” ujar Ahmad.
Ia mengatakan, relaksasi konsentrat merupakan hal yang dilarang UU Minerba. Selain itu, adanya kontrak dan izin secara bersamaan juga tidak sesuai UU Minerba.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo harus bersikap atas pelanggaran hukum Menteri ESDM. Apalagi, peraturan menteri tersebut merupakan materi muatan UU atau Peraturan Pengganti Undang-undang. Artinya, pembentukannya tidak taat azas pembentukan peraturan perundang-undangan. “Apa yang dilakukan oleh Menteri ESDM membahayakan Presiden,” ujar dia.
(Baca: Jokowi Serahkan Persoalan Freeport kepada Jonan)
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariono tidak mau menanggapi adanya revisi aturan tersebut. "Tanya Pak Hufron (kepala biro hukum Kementerian ESDM," kata dia di Kementerian ESDM, Senin (10/4).