PT Freeport Indonesia telah merumahkan, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerjanya. Langkah ini merupakan bagian dari efisiensi perusahaan karena tidak bisa mengekspor konsentrat sehingga kegiatan tambangnya dihentikan.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Bangun S.Manurung mengatakan, hingga 15 Maret lalu, ada 2.150 tenaga kerja kontrak Freeport yang terdampak penghentian kegiatan tambang tersebut. Perinciannya, sebanyak 2.075 orang pekerja dalam negeri dan sisanya sebanyak 75 orang adalah tenaga kerja asing.
(Baca: Wapres Amerika Serikat Akan Temui Jokowi, Bahas Freeport?)
Dari jumlah tersebut, 2.066 orang mengalami PHK, sementara 50 orang dirumahkan, dan sisanya sebanyak 34 orang dipindahkan ke lokasi lain dalam satu perusahaan. ''Tenaga kontrak sudah ribuan orang ya berhenti,'' kata Bangun di Jakarta, Senin (20/3).
Selain kontrak, Freeport memiliki 291 karyawan tetap. Perinciannya, delapan orang berasal dari Papua, 254 orang non-Papua , dan 29 orang tenaga kerja asing. Untuk pekerja nasional, Freeport sudah merumahkan mereka. Jadi meski sudah tidak bekerja, mereka tetap menerima gaji pokok dan berstatus pegawai. Sementara 29 orang warga asing sudah di-PHK. (Baca: Produksi Turun, Cadangan Freeport Diprediksi Habis Tahun 2054)
Bangun khawatir pemutusan hubungan kerja dan perumahan karyawan yang dilakukan Freeport dapat memicu masalah sosial lainnya, seperti tindakan kriminal. “Kasarnya kalau orang baik saja tidak makan, bisa mencuri,'' kata dia.
Untuk itu, negosiasi Freeport dan pemerintah diharapkan dapat menemukan solusi karena akan berdampak langsung bagi masyarakat Papua. Kedua belah pihak ini memiliki batas waktu negosiasi sekitar enam bulan.
(Baca: Negosiasi Masih Buntu, Freeport Belum Mau Ubah Kontrak Karya)
Di sisi lain, meski belum bisa mengekspor, Freeport tetap beroperasi dan berproduksi. Namun jumlahnya produktivitasnya lebih kecil yakni 40 persen. Ini menyesuaikan kapasitas produksi pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik, Jawa Timur.