Kisruh status kontrak PT Freeport Indonesia yang berujung kepada penghentian produksi, telah menyedot perhatian induk perusahaan tambang yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS) tersebut. Bahkan, President dan CEO Freeport-McMoRan Inc. Richard C. Adkerson mengunjungi Indonesia untuk mengupayakan penyelesaian persoalan itu.
“Saya telah berada di Jakarta selama beberapa hari untuk menangani berbagai permasalahan yang saat ini dihadapi perusahaan sehubungan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait ekspor konsentrat,” katanya dalam siaran pers Freeport, Senin (20/2).
Menurut dia, tim manajemen dan beberapa tokoh masyarakat Papua terus bekerja sama melindungi kepentingan Freeport dan semua pemangku kepentingan, termasuk nasib karyawan. Sebab, selama lebih dari lima tahun, Freeport telah secara konsisten beritikad baik menanggapi perubahan hukum dan peraturan Pemerintah Indonesia. Beberapa di antara perubahan itu berdampak negatif terhadap operasionalnya di tambang Grasberg, Papua.
(Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)
Salah satu aturan yang disoroti adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017. Meskipun UU Pertambangan Mineral dan Batubara 2009 menyatakan bahwa Kontrak Karya tetap sah berlaku selama jangka waktunya. Pemerintah meminta Freeport mengakhiri Kontrak Karya tahun 1991 agar memperoleh suatu izin operasi yang tidak pasti dan persetujuan ekspor jangka pendek.
Di sisi lain, Freeport berupaya fleksibel dan berkomitmen mengubah Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan tetap memberikan hak-hak yang sama sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya. Hal ini sejalan dengan surat jaminan dari Pemerintah kepada PTFI tanggal 7 Oktober 2015.
Freeport telah mendiskusikan dengan pemerintah untuk memperoleh jangka waktu enam bulan guna merundingkan perjanjian investasi ini. Ekspor akan diizinkan dan Kontrak Karya tetap berlaku sebelum ditandatanganinya perjanjian investasi tersebut. Namun, peraturan-peraturan pemerintah saat ini mewajibkan Kontrak Karya diakhiri untuk memperoleh izin ekspor. "Hal ini tidak dapat kami terima," kata Adkerson.
Ia mengatakan, Freeport tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan oleh Kontrak Karya. Alasannya hal itu merupakan dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi perusahaan dan vital terhadap kepentingan jangka panjang para pekerja dan para pemegang saham Freeport.
Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi Freeport untuk melakukan investasi modal skala besar berjangka panjang. Apalagi, Freeport akan mengembangkan cadangan di lokasi terpencil, di Papua. (Baca: Chappy Hakim Mundur dari Presdir Freeport Indonesia)
Menurut Adkerson, hukum Indonesia mencerminkan prinsip hukum yang diterima secara internasional. Artinya, suatu kontrak merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang berkontrak tersebut dan kontrak tidak dapat diubah atau diakhiri secara sepihak, meskipun berdasarkan hukum dan peraturan perundangan yang diterbitkan kemudian.
Pada 17 Januari lalu, Freeport Indonesia telah menyampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai tindakan-tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh Pemerintah.
“Perselisihan yang akan terjadi dengan pemerintah dapat diselesaikan tapi dengan mencadangkan hak-hak sesuai Kontrak Karya, termasuk hak untuk memulai arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan-ketentuan Kontrak Karya dan memperoleh ganti rugi yang sesuai,” kata Adkerson.
(Baca: Jonan Pilih Freeport Arbitrase Daripada Hembuskan Isu PHK)
Freeport berharap masih bisa mencapai kesepakatan dengan Pemerintahn Indonesia dalam waktu 120 hari ke depan sehingga tidak perlu membawa sengketa tersebut ke arbitrase. “Saya tetap berharap bahwa kita dapat mencapai jalan keluar yang disepakati bersama oleh perusahaan dan pemerintah,” kata Adkerson.