Yang jelas, menurut Bambang Gatot, pemerintah tetap berpegang teguh pada ketentuan yang berlaku. Jadi, Freeport harus mengajukan dan mengantongi terlebih dahulu IUPK. Dengan begitu, Freeport bisa kembali mengekspor konsentratnya meski belum membangun smelter.

Selain itu, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi Freeport agar bisa memperoleh izin ekspor. Yaitu, membangun pusat pengolahan dan pemurnian mineral. Kemudian, skema pajak yang bersifat prevailing. "Ya kan kalau sesuai ketentuannya (prevailing) kan begitu," ujar Bambang.

Juru Bicara Freeport Riza Pratama menyatakan, Freeport akan terus bernegosiasi dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang saling memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Alasannya, syarat yang diajukan Freeport dinilai penting untuk rencana investasi jangka panjang di Indonesia dan untuk menghindari dampak negatif yang bisa timbut, terutama PHK karyawan.

(Baca: Sri Mulyani Ingin Freeport Berikan Penerimaan Lebih ke Negara)

Di sisi lain, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku bingung mengapa Freeport masih menolak menjalankan kewajiban divestasi hingga 51 persen saham. Padahal, Freeport sudah beroperasi lebih 40 tahun sehingga wajib melakukan divestasi.

Jonan mengatakan Freeport tidak perlu khawatir terhadap kewajiban divestasi tersebut karena saham yang didivestasikan dibeli oleh pemerintah. “Kami pegang sahamnya saja (Freeport) tidak mau. Mengapa sebenarnya, saya juga tidak mengerti,” katanya di Jakarta, selasa (14/2) lalu.

Menurut dia, divestasi saham sebesar 51 persen baru akan diproses setelah IUPK diterbitkan. Status IUPK lalu akan disusul oleh beberapa tahapan lainnya mulai dari pemberian rekomendasi ekspor hingga divestasi saham.“Divestasinya sebenarnya terakhir, tetapi tidak tahu lah kapan,” katanya.

Halaman: