PT Perrtamina (Persero) melalui anak usahanya, Pertamina Hulu Energi (PHE), meminta pemerintah mengubah dan menambah besaran bagi hasil pada kontrak Blok Offshore North West Jawa (ONWJ). Padahal, kontrak Blok ONWJ tersebut baru ditandatangani pada Rabu (18/1) pekan lalu.

Presiden Direktur PHE Gunung Sardjono mengatakan alasan meminta tambahan bagi hasil karena ada biaya yang belum dibayar pemerintah pada kontrak sebelumnya. Total nilainya mencapai US$ 452 juta. "Ini dimasukkan usulan kami, supaya ada tambahan split," kata dia di Jakarta, Selasa (24/1).

(Baca: Teken Kontrak Baru Blok ONWJ, Pertamina Siap Kucurkan Rp 113 Triliun)

Alasan lainnya, setelah kontrak Blok ONWJ berubah menjadi skema gross split, bagi hasil yang diterima PHE malah berkurang sekitar tujuh persen dibandingkan dengan kontrak sebelumnya derngan skema lama. Jika hal ini terus berlanjut,  dapat mempengaruhi keekonomian blok tersebut.

Untuk menutup selisih itu, PHE juga berusaha mengefisiensikan biaya. Namun, upaya tersebut hanya bisa menutup lima persen. "Kami butuhkan (tambahan split) ini untuk survive, Makanya kami bergantung pada faktor dynamic split seperti harga minyak dan produksi," kata Gunung.

Sekadar informasi, dalam kontrak yang baru dengan skema gros split, Pertamina mendapatkan bagi hasil minyak sebesar  57,5 persen, dan gas 62,5 persen. Sisanya untuk negara. Pemerintah memberikan bagi hasil sebesar itu karena letak Blok ONWJ di lepas pantai, dan sumur migas berada di kedalaman laut melebihi 20-25 meter. Selain itu, di Blok ONWJ terdapat kandungan karbondioksida (CO2).

Jika mengacu Peraturan Menteri Nomor  8 tahun 2017 tentang gross split, besaran bagi hasil terdiri dari tiga komponen yakni komponen awal (base split), komponen variabel dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif bisa menambah atau mengurangi komponen awal.

Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan bagian negara dari gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya menjadi hak kontraktor. (Baca: Aturan Terbit, Kontrak Baru Migas Pakai Skema Gross Split)

Komponen variabel yang dimaksud adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan jenis reservoir. Selain itu, kandungan karbondioksida, kandungan hidrogen-sulfida, berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri pada masa pengembangan lapangan. Terakhir adalah tahapan produksi.

Sedangkan komponen progresif terdiri dari harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi minyak dan gas bumi. Harga minyak bumi ini mengacu Indonesian Crude Price (ICP). Jka harga di bawah US$40 per barel maka bagian kontraktor bertambah 7,5 persen, sedangkan harga di atas US$ 115 maka bagiannya berkurang 7,5 persen.

Selain itu, Gunung mengatakan, sejak awal tahun ini hingga kontrak Blok ONWJ berakhir pada 18 Januari lalu, jumlah cost recovery atau penggantian biaya operasi PHE sebesar US$ 26 juta.  Sementara sepanjang 2016, cost recovery di Blok OWNJ mencapai US$ 371,43 juta, atau lebih kecil dibandingkan jumlah tahun 2015 sebesar US$ 559,4 juta.

(Baca: Skema Gross Split Bebaskan Kontraktor dari Sanksi TKDN Minim)

Penurunan cost recovery pada tahun lalu itu disebabkan oleh merosotnya harga minyak sehingga berdampak pada aktifitas operasi Blok ONWJ yang rendah. Adapun realisasi cost recovery Blok ONWJ tahun lalu tercatat yang terendah sejak lima tahun terakhir.