Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam menerapkan skema baru kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas), yaitu skema gross split. Salah satu indikasinya adalah ketentuan mengenai kepemilikan aset hulu migas oleh negara.

Menurut Dewan Penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, ketika pemerintah menerapkan skema kontrak bagi hasil gross split, seharusnya aset hulu migas bukan lagi milik negara, tapi menjadi kepunyaan kontraktor. Alasannya, kontraktor migas menanggung seluruh biaya investasi.

(Baca: Pakai Gross Split, Negara Tetap Kuasai Aset Migas Kontraktor)

Hal ini berbeda dengan mekanisme kontrak bagi hasil sebelumnya yang menggunakan skema cost recovery atau penggantian biaya operasional. Dengan konsep itu, aset menjadi milik negara karena investasi memang dikembalikan dari hasil produksi. “Ini tidak logis dan tidak konsisten,” kata Pri kepada Katadata, Minggu (22/1).

Sebagai gambaran, jika mengacu Peraturan Menteri Nomor 8 tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split khususnya Pasal 21, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik/kekayaan negara. Pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola SKK Migas.

Tidak hanya itu, dalam Pasal 22, tanah yang telah diselesaikan proses pembebasannya oleh kontraktor menjadi milik negara dan dikelola SKK Migas, kecuali sewa. Tanah itu juga wajib dimohon sertifikat hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Pri menganggap pemerintah tidak konsisten dari sisi birokrasi. Dalam aturan anyar tersebut pemerintah masih wajib mengajukan rencana pengembangan lapangan dan anggaran kepada SKK Migas. 

Menurut Pri, kalau menggunakan skema gross split, pemerintah cukup menerima hasil finalnya saja, dan tidak perlu lagi repot dalam perencanaan serta segala administrasinya. “Ini kan juga tidak konsisten,” ujar dia. (Baca: Skema Gross Split Bisa Hambat Pengembangan Teknologi Migas)

Dalam operasionalnya, aturan ini juga dinilai rumit, terutama dalam penentuan tambahan/pengurangan besaran bagi hasil. Banyak variabel yang tidak mudah ditentukan dan harus dimonitor setiap saat seperti kandungan kandungan hidrogen sulfida (H2S), kandungan karbondioksida (CO2), tingkat komponen dalam negeri (TKDN) , dan variabel harga minyak.

Jadi, Pri mengatakan tujuan skema gross split untuk menyederhanakan administrasi dan birokrasi, tidak akan tercapai karena inkonsistensi tersebut. “Banyaknya inkonsistensi yang ada ini seperti mengindikasikan bahwa filosofi tentang gross split itu apa dan kontrak eksisting itu apa belum sepenuhnya dipahami,” kata dia.

Di sisi lain, pemerintah dengan skema ini bisa mempercepat masa produksi dua sampai tiga tahun dibandingkan memakai kontrak bagi hasil cost recovery. Penghematan waktu itu untuk penyusunan FEED (front end engineering, procurement and construction) hingga EPC (engineering, procurement and construction).  (Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) diperbolehkan menyusun sendiri tanpa harus melalui pembicaraan panjang dengan SKK Migas. "Dengan demikian, sistem pengadaan (procurement) yang birokratis dan debat yang terjadi saat ini menjadi berkurang," kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di Kementerian ESDM, Jumat (20/1).