Skema baru kerja sama minyak dan gas bumi (migas) berupa kontrak bagi hasil gross split tidak lagi menerapkan sistem cost recovery atau penggantian biaya operasional oleh negara. Meski begitu, negara tetap menguasai dan memiliki aset migas para kontraktor. Hal ini sesuai Pasal 21 Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Kepala Biro Hukum Kementerian Energi Hufron Asrofi mengatakan, aset yang dikuasai dan dimiliki negara adalah aset-aset langsung yang dipakai kontraktor dalam mengoperasikan wilayah kerjanya. "Pokoknya barang dan peralatan yang mendukung operasi," kata dia di Jakarta, Jumat (20/1).
(Baca: Aturan Terbit, Kontrak Baru Migas Pakai Skema Gross Split)
Menurut dia, pemerintah sudah menghitung dan mengkaji mengenai kepemilikan aset ini sehingga tidak akan merugikan kontraktor. Meskipun seluruh biaya tidak lagi dikembalikan negara melalui cost recovery.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi Energi DPR Satya Widya Yudha juga mendukung langkah tersebut. Alasannya, skema saat ini masih menerapkan sistem kontrak. "Aset itu milik negara, tidak ada punya kontraktor, " ujar dia.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan kunci agar kontraktor tidak merugi saat investasi pembelian peralatan operasi migas adalah melakukan efisiensi belanja modal. "Semakin dia berhemat dia makin besar dapat keuntungan," kata dia. (Baca: Skema Gross Split Bisa Hambat Pengembangan Teknologi Migas)
Skema gross split ini juga dapat mempercepat proses pengadaan barang dan jasa sekitar dua tahun. Sekadar informasi, sejak 2000 kontraktor membutuhkan waktu sekitar 15 tahun dari proses cadangan migas sampai tahap produksi.
Selain itu, menurut Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja, skema gross split ini bisa menghemat APBN karena tidak ada lagi cost recovery. Dalam dua tahun terakhir, rata-rata negara mengeluarkan biaya hingga 40 persen untuk membayar cost recovery kontraktor. Alhasil, pemerintah hanya mendapat bagi hasil migas sekitar 45 persen.
(Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mendukung adanya aturan gross split tersebut. Namun, pemerintah harus memastikan keuntungan kontraktor tidak menurun. Apalagi, untuk wilayah kerja migas di kawasan terpencil (remote) . "Kami minta dikaji komprehensif," kata dia.