Jelang tutup tahun 2016, Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) Lapangan Jambaran Tiung Biru di Blok Cepu, Jawa Timur belum juga diteken. Hingga kini penandatanganan PJBG masih terganjal dua kendala utama. Dampaknya, pembangunan fasilitas produksi lapangan gas ini bisa molor.

Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah menyebutkan dua hal yang menjadi kendala adalah terkait keputusan pemerintah yang belum ada. Pertama, keputusan realokasi gas Jambaran Tiung Biru, dari sebelumnya untuk PT Pupuk Kujang Cikampek ke PT Pertamina Persero. Kedua keputusan mengenai insentif untuk pengembangan lapangan tersebut. Dua hal ini merupakan kewenangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Adriansyah mengaku dokumen PJBG Jambaran Tiung Biru sebenarnya telah selesai. "Untuk tandatangani PJBG kami butuh surat realokasi dan keputusan pemerintah, apakah akan diberikan insentif atau tidak," kata dia kepada Katadata, Rabu (28/12). (Baca: Perjanjian Jual-Beli Gas Tiung Biru Akan Tuntas Akhir Tahun)

Terkait dengan komitmen pembeli, PEPC sudah sepakat menjual gas Lapangan Tiung Biru kepada induk usahanya, yakni PT Pertamina (Persero). Harganya pun telah disepakati sebesar US$ 7 per juta british termal unit (mmbtu) dengan eskalasi 2 persen.

Sementara insentif sangat dibutuhkan agar proyek lapangan gas ini bisa ekonomis. Menurutnya saat ini masih ada selisih (gap) mengenai tingkat pengembalian investasi (IRR) yang diinginkan ExxonMobil sebagai mitra PEPC pada proyek ini, dengan yang ditawarkan pemerintah.

Dia menjelaskan IRR yang ditawarkan pemerintah untuk proyek ini sebesar 12-13 persen per tahun dan ExxonMobil menginginkan 16 persen per tahun. Sementara PEPC mengaku tidak keberatan dengan tawaran pemerintah ini. Karena IRR di atas 11 persen sudah dianggap ekonomis untuk mengembangkan Tiung Biru.

Menurut dia, ExxonMobil masih menunggu insentif dari pemerintah agar dapat menutupi selisih IRR yang didapatkan. "PEPC siap tanpa atau dengan insentif, ExxonMobil butuh insentif untuk mengkompensasi gap IRR yang mereka butuhkan," ujarnya. (Baca: Belanja Modal Proyek Tiung Biru di Blok Cepu Bisa Turun 10 Persen)

Ia berharap pemerintah bisa segera mungkin memutuskan nasib proyek tersebut. Jika tidak, pembangunan fasilitas produksi Lapangan Jambaran Tiub  bakal molor dan berdampak pada nilai keekonomian proyek. Adriansyah mengatakan hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah untuk memberikan timeline dari pemerintah untuk dapat memberikan keputusan terkait pengembangan proyek Tiung Biru.

Jika perjanjian jual-beli gas tertunda maka pelaksanaan proyek juga terancam tertunda. Ketika proyek molor, masa produksi menjadi pendek. Padahal kontrak Blok Cepu akan berakhir tahun 2035. Alhasil, total penerimaan dari hasil produksi gas lapangan ibi juga akan berkurang dan berdampak pada keekonomian proyek, sehingga mau tak mau diperlukan harga gas lebih tinggi.

Di sisi lain, PEPC juga tengah menunggu keputusan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), terkait tender rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) fasilitas pengolahan gas  (GPF) di Lapangan Jambaran Tiung Biru. "Sudah ada pemenangnya, tinggal tunggu persetujuan SKK Migas," kata dia, tanpa menyebutkan nama perusahaan pemenangnya.

Sebagai informasi fasilitas pengolahan gas Tiung Biru akan dibangun dengan kapasitas 330 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Namun, karena gas dari lapangan tersebut banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebesar 35 persen, maka gas yang bisa terjual hanya 172 mmscfd. (Baca: ExxonMobil Minta Alokasi Gas Tiung Biru Seluruhnya untuk Pertamina)

Pertamina akan menyerap seluruh hasil produksi gas Lapangan Tiung Biru. Awalnya dari jumlah gas sebesar 172 mmscfd tersebut, sekitar 80 mmscfd akan dijual kepada PKC. Namun, rencana itu batal karena harga yang ditawarkan kepada KPC dianggap terlalu mahal, yaitu US$ 8 eskalasi dua persen per mmbtu. Akhirnya, alokasi gas untuk PKC akan dialihkan ke Pertamina seluruhnya.