Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno mengusulkan pendapatan dari sektor migas tidak dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana ini dibutuhkan untuk pengembangan migas nasional.
"Sekarang pendapatan migas itu harus untuk pengembangan negara. Bukan untuk pengembangan industri migas sendiri," ujar Ari saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (29/11).
(Baca: Ubah Paradigma, Sektor Migas Diharapkan Jadi Penggerak Ekonomi)
Pendapatan migas ini diperlukan untuk mengembangkan industri migas itu sendiri. Pengembangan ini dilakukan dengan menugaskan Pertamina, khususnya untuk membangun infrastruktur dan mencari sumber-sumber migas di lapangan-lapangan.
Cadangan minyak Indonesia hanya tinggal 12 tahun lagi dan proyeksinya Indonesia akan menjadi net importir gas pada 2020. Perlu alokasi dana yang cukup besar untuk menggenjot penemuan cadangan migas baru agar Indonesia bisa mengantisipasi hal ini.
Dia memang tidak menyebutkan berapa besar kebutuhan dana untuk penemuan cadangan baru. Selagi blok-blok migas yang ada masih bisa berproduksi, pendapatannya bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan dana tersebut. Usulannya, seluruh pendapatan digunakan untuk pengembangan migas.
"Makanya perlu perubahan pola pikir, butuh perubahan mindset. Saya sampaikan juga terkait harga gas itu harus perubahan mindset," ujar Ari. (Baca: Mengatasi Bahaya Defisit Migas Berkepanjangan)
Ari menjelaskan, alasan dirinya mengusulkan hal ini, karena merasa khawatir akan perkembangan industri migas dikemudian hari. Selama ini pendapatan migas terus digunakan untuk menopang pendapatan negara yang tertuang dalam APBN. Namun, hanya sedikit sekali anggaran yang digunakan untuk melakukan pengembangan industri migas nasional.
Dia mencontohkan harga gas di Indonesia yang relatif mahal, karena biaya distribusinya tinggi. Ini terjadi karena pemerintah kurang mengalokasikan anggaran negara untuk pembangunan infrastruktur gas. Selama ini Pertamina dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya membangun infrastruktur gas dengan menggunakan dana komersial. Sehingga, perhitungan harga gas pun menjadi komersial.
Kondisi yang berbeda dengan yang terjadi di Malaysia. Ari menjelaskan, perusahaan migas Malaysia yakni Petronas mendapat alokasi dana dari pendapatan migasnya sendiri. Petronas hanya perlu membayar dividen dan pajak korporasi. Namun, perusahaan tersebut juga diminta untuk membangun infrastruktur migas.
"Makanya, biaya distribusi gas di malaysia sangat murah. Karena dia tidak melakukan perhitungan-perhitungan secara komersial," ujar Ari.
(Baca: JK: Kita Bisa Belajar Mengelola Energi dari Kolapsnya Venezuela)
Sebenarnya, usulan ini pernah diterapkan di Indonesia, yakni sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Dalam peraturan tersebut, Pertamina dapat memegang 40 persen penghasilan dari sektor migas untuk mengembangkan usahanya.
Namun, sejak krisis Pertamina tahun 1976, ketentuan tersebut dicabut dan dana hasil sektor migas ditarik seluruhnya oleh pemerintah. Karenanya, untuk mendukung industri migas nasional yang tengah mengalami tekanan, Ari menyarankan ketentuan ini dapat dipakai saat ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa Indonesia masih bergantung pada sektor migas untuk penerimaan negara. Sempat sekitar 80 pendapatan negara disumbang dari sektor ini. Tapi sekarang, sektor migas hanya menyumbang sekitar 25 persen ke penerimaan negara. “Jadi kita harus menyesuaikan diri,” ujar Kalla.