Upaya pemerintah mempercepat pengembangan industri migas nonkonvensional melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 Tahun 2015 dianggap belum efektif. Aturan ini dinilai belum bisa membuat industri ini berkembang

Founder ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan blok minyak dan gas bumi (migas) nonkonvensional ini memang sangat penting untuk dikembangkan. Alasannya, blok-blok ini dapat menjadi cadangan untuk menggantikan produksi blok migas konvensional yang semakin menyusut.

Dia mengakui bahwa pemerintah memang telah berupaya mengubah aturan dan skema kerja sama untuk pengelolaan blok migas nonkonvensional lebih menarik. Dalam aturan tersebut pemerintah memberikan tiga skema kerja sama yang bisa digunakan dalam kontrak migas nonkonvensional. Sebelumnya, kontraktor migas nonkonvensional hanya bisa menggunakan skema bagi hasil produksi yang teh ditentukan pemerintah.

(Baca: Pemerintah Proses Pengembalian Enam Blok Migas Nonkonvensional)

Namun, dia menganggap skema kerja sama ini bukanlah masalah utama yang mengakibatkan migas nonkonvensional sulit berkembang saat ini. "Skema kontrak yang ditawarkan sebenarnya cukup menarik. Tetapi pokok permasalahan saat ini bukan pada skema kontrak tersebut," kata Pri saat dihubungi Katadata, Senin (28/11).

Menurutnya, untuk menarik minat investasi di blok migas nonkonvensional, pemerintah harus berbenah diri secara internal dan birokrasinya. Permasalahan utama kurang berkembang blok ini adalah data teknis yang dimiliki pemerintah dinilai masih sangat mentah. Hal ini membuat adanya ketidakpastian produksi blok tersebut yang sangat tinggi dan investor tidak bisa mengkalkulasi bisnis ini secara ekonomi.

"Saat ini (tawaran skema kerja sama migas nonkonvensional) memang tidak cukup menarik bagi investor. Apalagi saat ini harga minyak rendah," ujarnya.

Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pri menyebutkan, permasalahan seperti ketidakpastian hukum akibat revisi undang-undang migas yang belum selesai, kurangnya pemerintah menghormati kontrak yang telah dibuat, perizinan dan birokrasi yang masih berbelit-belit, serta pembebasan lahan yang memerlukan waktu lama. Semua permasalahan inilah yang menghambat pengembangan blok migas nonkonvensional saat ini.

Dia mengatakan pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan kualitas data melalui studi-studi geologi dan geofisika lanjutan. Pemerintah juga harus melakukan uji seismik dan pengeboran sumur-sumur eksplorasi awal. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk mengatasi permasalahan internal yang seringkali menghambat pengembangan blok migas di berbagai wilayah.

(Baca: Skema Kontrak Baru Bisa Dipakai untuk Lelang Blok Nonkonvensional)

Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah mengeluarkan aturan untuk mempercepat pengembangan migas nonkonvensional sejak tahun lalu. Dalam aturan tersebut ada tiga skema kontrak kerjasama yang bisa digunakan, yakni kontrak bagi hasil, kontrak bagi hasil sliding scale dan kontrak bagi hasil gross split sliding scale

Untuk kontrak bagi hasil dan kontrak bagi hasil sliding scale, hasil penjualan dibagi tanpa memperhitungkan jatah pemerintah pada awal produksi (first tranche petroleum/FTP) dan pengembalian biaya operasi (cost recovery). Sementara untuk kontrak bagi hasil gross split sliding scale hasil penjualan dibagi berdasarkan bagi hasil sesuai dengan kontrak kerja sama. 

Mengenai masa kontraknya, jangka waktu kontraktor kerja sama paling lama 30 tahun. Setelah kontraknya habis, masih bisa diperpanjang paling lama dua puluh tahun untuk setiap kali perpanjangan. Perpanjangan kontrak dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek teknis dan keekonomian pengembangan lapangan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, pelaku industri boleh menggunakan skema kerjasama selain kontrak bagi hasil untuk blok migas nonkonvensional yang sedang dilelang. “Pakai sliding scale gross split bisa,” ujarnya.