Komite Eksplorasi Nasional (KEN) merasa perlu memberikan pandangannya terkait permasalahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang. Hal ini dilakukan sebagai upaya menyehatkan kondisi eksplorasi batubara yang ditargetkan meningkat dalam lima tahun ke depan.
Ketua KEN Andang Bachtiar mengusulkan empat hal untuk mengatasi masalah PLTU mulut tambang. Pertama, dalam menentukan biaya penambangan batu bara perlu mengedepankan konsep transparansi harga, antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan pemasok batubara.
Kedua, “penentuan biaya penambangan sebaiknya dilakukan oleh konsultan independen yang telah disetujui oleh Kementerian ESDM dan PLN,” kata Andang dalam keterangan resminya, Selasa (2/8). Mengingat perdebatan ini berawal harga mulut tambang di Sumatera yang didasarkan atas usulan biaya penambangan dari pihak pelaku tambang atau calon pemasok. (Baca: Jual Batu Bara ke PLTU Mulut Tambang Dapat Margin 25 Persen)
Ketiga, pendekatan kepemilikan terintegrasi antara PLTU Mulut Tambang, baik PLN maupun pihak swasta (Independent Power Producer/IPP) dengan perusahaan pemasok batu baranya. Kepemilikan ini harus lebih dipastikan nilainya, misalnya antara 10 persen sampai 30 persen.
Permasalahan ini awalnya terjadi lantaran adanya Peraturan Menteri (permen) ESDM Nomor 9 Tahun 2016 tentang tata cara penyediaan dan penetapan harga batu bara untuk pembangkit di mulut tambang. Dalam aturan ini perhitungan harga batu bara untuk pembangkit tersebut adalah biaya produksi ditambah dengan margin sebesar 15-25 persen.
Sementara PLN menolak mengikuti aturan tersebut. Alasannya harga batu bara yang diatur permen ini ini masih terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan harga pasar. PLN ingin pemerintah mengubah ketetapan harga ini dengan acuan margin yang lebih rendah. Permasalahan ini sempat memperkeruh hubungan antara Kementerian ESDM dan PLN.
Andang mengatakan usulan terakhir adah dengan merevisi Permen 9/2016. Ada beberapa poin penting yang perlu direvisi dari aturan ini. Salah satunya dengan menghapus ketentuan jarak antara PLTU mulut tambang dan wilayah tambang yang dibatasi sejauh 20 kilometer. (Baca: Tegur Lagi, Sudirman: Jangan Sampai PLN Jadi Anak Durhaka)
Ketentuan jarak ini tidak perlu ada, mengingat luas wilayah kerja dalam izin usaha pertambangan (IUP) bisa lebih dari 20 kilometer. Batu bara untuk PLTU mulut tambang skala kecil dengan kapasitas 7-25 megawatt (MW) tidak mungkin dipasok dari tambang yang jaraknya jauh.
Untuk pembangkit skala kecil yang hanya membutuhkan pasokan batu bara sekitar 35 ribu-125 ribu ton per tahun, mungkin bisa menggunakan perhitungan harga biaya produksi ditambah margin 15-25 persen. “Namun, perhitungan biaya penambangan (produksi) tetap harus melalui konsultan independen,” ujarnya.
Sementara untuk PLTU skala besar (100-1000 MW), perhitungan harganya melalui kesepakatan antara pemasok dan perusahaan pembangkit dengan skema business to business. Mengingat pemasok untuk pembangkit tersebut adalah perusahaan besar. (Baca: Menteri Rini "Bela" Kinerja Bos PLN dari Kritikan Menteri ESDM)
Meski demikian, Kementerian ESDM tetap melakukan control terhadap konservasi tambangnya. Agar tidak terjadi hilangnya cadangan akibat dari sekadar menjual harga murah serta keuntungan besar bagi perusahaan.
Terkait dengan Permen 9/2016, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM mengatakan hingga saat ini belum punya rencana untuk merevisinya. Alasannya, tujuan Permen itu adalah untuk menggairahkan dunia usaha, sehingga terwujud keberlanjutan usaha pertambangan dan pasokan batubara untuk pembangkit listrik.
“Kementerian dan stake holders yang menyusun Permen itu sudah mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif," ujarnya kepada Katadata (2/8). (Baca: Rencana Proyek Listrik Disahkan, Menteri ESDM: Hentikan Polemik)