Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meminta dihentikannya polemik seputar rencana pembangunan pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) hingga 2019 mendatang. Alasannya, Kementerian ESDM sudah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2016 sampai 2025 yang diajukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui surat keputusan Nomor 5899/K/20/MEM/2016.

Sudirman mengatakan, setelah peta jalan proyek listrik itu disahkan maka seharusnya tak ada lagi polemik dan PLN melaksanakan keputusan tersebut. Jika terus berpolemik maka dikhawatirkan dapat meresahkan masyarakat maupun investor.  "RUPTL pedoman bagi pelaksanaan, karena itu tinggal dilaksanakan dan tidak perlu lagi dibicarakan," kata dia di Jakarta, Senin (20/6).

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman mengatakan, revisi RUPTL memuat proyek transmisi arus searah tegangan tinggi atau high voltage direct current transmission (HVDC) Sumatera-Jawa 500 kiloVolt (kV). Pertimbangannya adalah proyek tersebut sudah memiliki kajian dan pendanaan. (Baca: Tak Setuju PLN, Sudirman Dukung Proyek Kabel Laut Jawa-Sumatera)

Sekadar informasi, pemerintah sudah mendapatkan komitmen utang dari Japan International Cooperation Agency (JICA) sebesar US$ 2,13 miliar untuk menbiayai proyek HVDC. Jangka waktu pinjamannya selama 30 tahun. “Kalau mau dikeluarkan atau dimasukan yang baru, harus ada kajiannya, termasuk pendanaanya sudah ada atau belum. Selama itu ada (seperti HVDC), harus masuk (RUPTL),” kata Jarman di Jakarta, Selasa (21/6). 

Pembangunan transmisi interkoneksi HVDC 500 kV Sumatera-Jawa untuk menyalurkan daya dari PLTU mulut tambang di Sumatera Selatan sebesar 3.000 MW mulai tahun 2019. Ini salah satu upaya Penanggulangan Jangka Menengah Sistem Jawa Bali.

Jarman menjelaskan, penyelesaian proyek HVDC juga harus sesuai dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Sumatera Selatan (Sumsel) 8 yang berkapasitas  2x600 MW, Sumsel 9 2x600 MW, dan Sumsel 10 1x600 MW. Jika tidak maka dapat berpotensi menimbulkan pinalti (TOP) bagi PLN sebesar Rp 280 miliar per bulan. “Itu masalahnya sudah ada pendanaan. Kalau ada pendanaan itu bagaimana komitmennya,” ujar dia.

 

Proyek HVDC ini memang sempat menjadi polemik karena PLN ingin menghapusnya dalam dokumen RUPTL. Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, sedikitnya ada tiga alasan utama menghapus proyek tersebut. Pertama, terkait nilai keekonomian proyek tersebut. Pembangunan transmisi Sumatera-Jawa dianggap tidak ekonomis pada kondisi saat ini.

Kedua, masalah teknis pelaksanaan. Ia mencontohkan, Sumatera masih sangat membutuhkan daya listrik yang besar. Sedangkan di Jawa saat ini sudah masuk dalam 23 ribu megawatt yang dimuat dalam dokumen RUPTL. Ketiga, rencana pembangunan proyek HVDC sudah terlampau lama sehingga mesti dikaji ulang lebih mendalam. (Baca: Tiga Alasan PLN Hapus Proyek Kabel Laut Sumatera - Jawa)

Salah satu sumber Katadata di pemerintahan menyebutkan, polemik proyek HVDC ini tidak terlepas dari perebutan pengusaha batubara yang akan memasok ke pembangkit listrik. Mengingat proyek HVDC terkait dengan Sumsel 8,9,10 yang memakai batubara dari Sumatera. 

Sumber tersebut mengatakan, polemik HVDC ini juga terkait dengan proyek pembangkit listrik Jawa 5 yang proses lelangnya dibatalkan PLN. Seperti diketahui, PLTU Jawa 5 yang berkapasitas 2x1.000 megawatt (mw) ini akan dibangun di Serang, Banten dan listriknya untuk Pulau Jawa.

Sementara proyek PLTU Sumatera  Selatan 8,9 dan 10 jika ditotal memiliki kapasitas kurang lebih 3.000 megawatt (mw). Ketika beroperasi, listriknya akan dialiri ke Jawa melalui HVDC. “Kalau Jawa 5, HVDC, Sumsel 8,9 dan 10 tidak jadi,  berarti ada sekitar 5.000 MW yang akan jadi kue baru untuk bancakan,” kata sumber tersebut.

Di sisi lain, ada surat dari salah seorang investor kepada Direktur Utama PLN Sofyan Basir yang diteruskan ke Menteri ESDM. Isi surat itumengenai permintaan izin pembangunan PLTU di Pulau Panjang di Jepara, Jawa Tengah. Kapasitasnya sekitar 4x1.000 MW dan akan dialirkan ke Pulau Jawa. PLTU ini akan menggunakan bahan bakar batubara dari Kalimantan.

Surat itu, menurut sumber di pemerintahan, menjadi tantangan dari proyek Jawa 5, HVDC dan proyek mulut tambang Sumsel 8,9 dan 10.  Jika proyek Jawa 5, HVDC, Sumsel 8,9 dan 10 bisa berjalan maka tidak perlu banyak pembangkit di Pulau Jawa.

Ujung-ujungnya, peluang investor membangun PLTU di Pulau Panjang semakin kecil. Jika proyek listrik di Pulau Panjang itu batal, maka peluang pengusaha batubara Kalimantan untuk memasok sumber bahan bakar pembangkit itu juga kandas.

(Baca: Ditegur Pemerintah, PLN Kerjakan Proyek Kabel Laut Sumatera - Jawa)

Apalagi, surat tersebut berasal dari salah satu mantan pejabat. Surat itu diteken oleh mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Namun, sumber tadi tidak menyebutkan identitas perusahaan yang dipakai Lutfi. Adapun, Lutfi saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk.

Hingga ini, Sofyan Basir dan Muhammad Lutfi belum bisa dikonfirmasi. Pesan yang dikirimkan Katadata melalui layanan SMS maupun Whatsapp tidak berbalas. Sementara Presiden Direktur PT Medco Power Generation Indonesia Lukman Mahfoedz mengaku, perusahaannya tidak ikut proyek PLTU di Pulau Panjang. “Saya akan menjawab yang berhubungan sama Medco Power Generation saja,” katanya. 

Sedangkan Sudirman tidak mau menanggapi kaitan antara polemik proyek listrik dengan surat izin pembangunan pembangkit listrik di Pulau Panjang. “Saya tidak tahu,” kata dia kepada Katadata.