KATADATA - Menurunnya harga minyak yang sudah mencapai level US$ 30 per barel saat ini telah berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan migas di Indonesia. Diperkirakan akan banyak perusahaan migas yang akan tutup jika harga minyak terus turun hingga ke level US$ 20-an per barel.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Perminyakan Indonesia (IATMI) Benny Lubiantara mengatakan penurunan harga yang sudah terjadi sejak pertengahan 2014, telah membuat banyak perusahaan mengurangi investasinya. Bahkan melakukan efisiensi besar-besaran dalam kegiatan usahanya. (Baca : Terus Turun, Harga Minyak Mendekati Level US$ 20-an)

Menurut Benny, ada beberapa hal yang diperhatikan jika perusahaan berencana melakukan investasi baru, salah satunya harga minyak. Dengan asumsi harga minyak US$ 50 per barel saja sudah banyak proyek-proyek migas yang dibatalkan. Apalagi sekarang dengan harga minyak US$ 30 per barel.

Meski demikian, dia tidak menyebutkan berapa banyak proyek migas yang dibatalkan. Berdasarkan data SKK Migas, sepanjang 2015 hanya 35 persen rencana pengeboran sumur eksplorasi terealisasi. Dalam revisi rencana kerja dan anggaran (WP&B) rencananya ada 157 sumur eksplorasi yang akan dibor pada tahun lalu. Namun, yang terlaksana hanya 55 sumur.

“Secara perhitungan umum tidak akan ada pengeboran baru. Kalau sudah di bawah US$ 30 per barel, pasti gak akan ada lagi yang mau mengebor,” ujar Benny di Gedung City Plaza Jakarta, Rabu, 13 Januari 2016. (Baca: Tekan PHK, SKK Migas Minta Kontraktor Perbesar Efisiensi)

Kegiatan eksplorasi mungkin bisa dipastikan turun atau bahkan berhenti. Namun, kegiatan produksi masih bisa tetap jalan. Akan sangat merugikan jika perusahaan harus menghentikan kegiatan produksinya. Karena biaya operasional seperti gaji karyawan harus tetap dibayar.

Perusahaan hanya akan mengoperasikan sumur-sumur minyak yang sudah berproduksi. Produksi akan terus dilanjutkan selama harga minyak bisa menutup biaya. “Kalau sumur produksi ditutup malah akan tekor. Jadi akan tetap produksi sampai bisa menutup biaya variabel itu.”

Perhitungan Benny jika harga minyak turun hingga di bawah US$ 30 per barel, akan banyak perusahaan migas yang produksinya di laut (offshore) yang tutup. Sementara untuk perusahaan memproduksi minyak di darat (onshore) masih bisa bertahan hingga harganya mencapai US$ 20 per barel. (Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)

Sebenarnya, kata dia, menurunnya harga minyak ini bisa menjadi momentum perusahaan migas melakukan eksplorasi dan pengeboran. Karena rendahnya harga minyak akan membuat biaya eksplorasi ikut turun, seperti sewa rig dan sewa kapal seismik.

Bagi perusahaan yang memiliki modal besar, mungkin bisa melakukan hal ini. Namun, bagi perusahaan yang tidak memiliki modal besar, akan sangat kesulitan ditengah kondisi sekarang. Turunnya harga minyak membuat pendapatan perusahaan pun berkurang.

Pemerintah juga seharusnya bisa memanfaatkan penurunan harga minyak untuk terus meningkatkan penemuan cadangan migas nasional. Jadi ketika harga minyak naik, produksinya pun bisa meningkat. “Seharusnya pemerintah mulai dari sekarang siapkan terobosan, supaya ekplorasi dan produksi jalan,” kata Benny. (Baca: Gubernur BI Peringatkan Dampak Kejatuhan Harga Minyak)

Reporter: Anggita Rezki Amelia