KATADATA - Komisi VII DPR masih terus membahas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. Dalam pembahasan revisi UU tersebut, muncul wacana untuk membubarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir mengatakan usulan mengenai pembubaran SKK Migas sempat mengalami perdebatan cukup panjang. Namun, saat ini perdebatan tersebut sudah mulai mereda.
"Pada dasarnya teman-teman di Komisi VII sudah setuju pembubaran (SKK Migas)," ujarnya saat mengisi acara Seminar Nasional bertajuk "Urgensi RUU Migas Dalam Mendorong Kedaulatan Energi Nasional" di Cikini, Jakarta, Rabu (23/12). (Baca: SKK Migas Akan Jadi Badan Usaha di Luar Pemerintahan)
Makanya usulan ini bisa masuk dalam Rancangan Undang-Undang Migas yang sedang di bahas. Menurutnya, yang masih menjadi perdebatan saat ini adalah wacana perubahan status kelembagaan SKK Migas menjadi BUMN Khusus.
Inas berpendapat, pembentukan BUMN Khusus malah akan menimbulkan permasalahan baru. "Aksi korporasinya apa? Kan tidak jelas. Harus ada bisnisnya, kalau hanya untuk mengumpulkan minyak saja, untuk apa dibentuk?" ujarnya.
Dia menganggap keberadaan SKK Migas saat ini merupakan salah satu bentuk inefisiensi dalam pengelolaan migas nasional. Bahkan, jika dijadikan BUMN Khusus pun bisnisnya malah akan berbenturan dengan PT Pertamina (Persero). Akan lebih baik jika SKK Migas dilebur dengan Pertamina. Sehingga peran regulasi akan kembali dipegang Pertamina, seperti sebelum adanya UU Migas. (Baca: Pemerintah Rumuskan 15 Poin Penting dalam RUU Migas)
Sebelumnya, pemerintah sempat mempertimbangkan tiga opsi untuk kelembagaan SKK Migas. Tiga opsi ini adalah mengoperasikan SKK Migas seperti sekarang, dilebur dengan Pertamina, atau dijadikan BUMN Khusus. Pemerintah terlihat lebih condong memilih BUMN Khusus, yang berada di bawah Kementerian ESDM.
Mengenai pembahasan RUU Migas, Inas berharap agar pembahasannya cepat selesai dan segera disahkan. UU Migas yang sekarang dianggap lebih banyak mengatur bisnis hulu, sehingga memudahkan praktik mafia migas bermain di sektor hilir.
Makanya, kata Inas, dalam RUU Migas saat ini akan lebih banyak mengatur sektor hilir dan menutup celah praktik mafia. Revisi UU Migas juga akan mengatur spesifikasi kilang minyak Pertamina, agar hasil produknya bisa terserap maksimal di dalam negeri. Poin berikutnya adalah tata kelola bisnis migas dan memperketat aturan untuk pelaku usaha distribusi (trader). (Baca: DPR Mengkaji Plus-Minus Sistem Kontrak Kerjasama dalam RUU Migas)
Guru besar Institut Teknologi Sepuluh November Profesor Mukhtasor menilai ruang lingkup UU Migas saat ini sangat kecil. "Ini lebih seperti UU tata kelola bisnis Migas, terlalu besar jika disebut sebagai UU Migas," ujarnya.
Mukhtasor mengusulkan revisi UU Migas harus bisa mengakomodir semua kepentingan yang ada, terutama rakyat, pemerintah, dan pelaku usaha. Dia juga ingin revisi tersebut bisa memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BUMN untuk mengelola aset cadangan migas nasional.
Menurut dia, saat ini Pertamina sebagai BUMN hanya mengelola 15 persen dari cadangan migas nasional. Makanya sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan kedaulatan energi. Revisi UU Migas merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia mengambil alih sumber-sumber migas yang banyak dikuasai perusahaan asing. (Baca: Mulai Bahas RUU Migas, DPR Baru Sepakat soal Petroleum Fund)