KATADATA - Penetapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) molor dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Oktober lalu. Hingga saat ini Dewan Energi Nasional (DEN) belum juga merampungkan draf tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2014, RUEN harus ditetapkan paling lambat satu tahun setelah Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditetapkan. Sementara KEN sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, yang diterbitkan pada Oktober tahun lalu.
“Diusahakan Desember (bulan depan) selesai,” ujar Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar kepada Katadata, beberapa waktu lalu.
Saat ini DEN masih melakukan evaluasi poin-poin dan rencana kerja dalam RUEN. Anggota DEN Abadi Poernomo mengatakan masih ada beberapa data yang harus diperbaharui agar perencanaannya matang dan target bauran energi hingga 2025 dan 2050 bisa tercapai.
“Masih perlu sinkronisasi rencana jangka menengah dan panjang antar K/L (kementerian dan Lembaga),” ujarnya kepada Katadata. Secara parallel, DEN juga terus melakukan sosialisasi dengan pemerintah daerah (pemda), agar ada harmonisasi RUEN dengan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang dibuat oleh pemda.
Abadi dan Andang tidak menyebutkan masalah molornya penetapan KEN ini karena ada permintaan dari Komisi VII DPR, agar penetapan RUEN tidak mengacu pada KEN. Ketua Komisi VII Kardaya Warnika mengatakan pihaknya sedang berencana untuk merevisi KEN, karena dianggap tidak jelas dan perlu diperbaiki.
"KEN mau direview lagi, tidak jadi referensi (RUEN) dulu. Yang baru saja (nanti) yang jadi referensi," ujar Kardaya dalam Dialog Energi yang diadakan DEN di Hotel Borobudur Jakarta, pertengahan September lalu.
RUEN adalah kebijakan pemerintah mengenai rencana pengelolaan energi nasional untuk mencapai sasaran dalam Kebijakan Energi Nasional. Kementerian ESDM sempat menyebutkan beberapa poin penting yang akan masuk dalam RUEN, yakni penyediaan energi primer sekitar 400 juta ton setara minyak (MTOE) pada 2025 dan 1.000 MTOE pada tahun 2050. Kemudian tingkat keterjangkauan listrik (rasio elektrifikasi) 100 persen pada 2020, dengan menambah kapasitas pembangkit sebesar 115 gigawatt (GW) pada 2025 dan 430 GW pada 2050.
Untuk sektor minyak bumi membangun empat kilang dan revitalisasi untuk menambah kapasitas 1,3 juta barel per hari, pengurangan impor BBM dari 45 persen menjadi 0 persen. Kemudian pengurangan ekspor minyak mentah dari 38 persen menjadi 15 persen. Semuanya ditargetkan tercapai pada 2025.
Untuk sektor gas bumi, ekspornya akan dikurangi dari 41 persen menjadi 0 persen pada 2040. Pembangunan jaringan gas perkotaan bagi 25 juta rumah tangga untuk mengantisipasi peningkatan impor LPG (liquid petroleum gas) dan pembangunan fasilitas dimethyl ether (DME) 1 juta ton sebagai penggantiLPG.
Pembatasan produksi batubara sebesar 400 juta ton mulai tahun 2019 dan pembangunan fasilitas gasifikasi batubara (coal gasification) untuk memenuhi kebutuhan gas industri. Kemudian meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) menjadi 23 persen atau sekitar 46,7 GW, dengan membangun pembangkit EBT sebesar 3,6 GW per tahun. Ada juga pemanfaatan biomassa dari limbah rumah tangga dan kotoran hewan untuk kebutuhan energi.
Untuk sektor transportasi, konsumsi BBM ditargetkan sama seperti saat ini, yakni 1,3 juta barel perhari pada tahun 2025. Kemudian, memproduksi 750.000 kendaraan BBG, 25.000 mobil listrik, serta bus dan truk dengan mesin yang dapat menggunakan biofuel 30 persen. Selain itu, pembangunan 640 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), 1.000 stsiun pengisian listrik umum (SPLU), dan produksi biofuel sebesar 7,85 juta kiloliter.