Kriminalisasi Hambat Eksplorasi Migas

KATADATA
Penulis: Safrezi Fitra
14/7/2015, 15.33 WIB

KATADATA ? Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut lemahnya jaminan hukum, menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya peningkatan produksi dan penemuan cadangan migas baru di Tanah Air.

Wakil Kepala SKK Migas M.I Zikrullah mengatakan  upaya peningkatan produksi dan cadangan migas ini harus  didukung  jaminan hukum bagi pejabat pembuat keputusan. Jaminan hukum sangat diperlukan mengingat risiko industri migas sangat tinggi, ditambah lagi investasi yang besar karena memerlukan teknologi tinggi.

Adanya potensi kriminalisasi membuat penentu kebijakan sangat berhati-hati dalam membuat keputusan, sehingga memakan waktu yang lama. "Kalau setiap langkah dianggap merugikan negara maka pemerintah akan ragu dalam mengambil kebijakan. Itu menambah birokrasi," ujar dia kepada Katadata beberapa waktu.

Menurut dia, sektor migas seharusnya mendapat keistimewaan di dalam sistem hukum (lex spesialis). Ini diperlukan agar setiap kebijakan yang diambil oleh oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk meningkatkan industri migas, bisa mendapat dukungan dari Kementerian lain.

Setidaknya saat ini ada empat megaproyek migas yang masih dalam proses persetujuan oleh SKK Migas. Proses persetujuannya berjalan lambat, sehingg negara kehilangan potensi pendapatan hingga ratusan triliun rupiah setiap tahunnya dari proyek-proyek tersebut.

Keempat megaproyek itu adalah Indonesia Deepwater Development (IDD) oleh Chevron dengan nilai investasi US$ 12 miliar, Abadi Masela LNG oleh Inpex dengan nilai investasi US$ 7 miliar, Tangguh Train III oleh BP dengan nilai investasi US$ 12 miliar, dan East Natuna Project dengan nilai investasi US$ 24 miliar.

Pakar Hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana juga menganggap adanya kriminalisasi membuat pemerintah takut dalam mengambil keputusan. Pemerintah tidak diberi ruang untuk melakukan inovasi dalam membuat kebijakan jika ada kendala di lapangan.

"Misalnya pusat ingin membuat terobosan, tapi keinginan pemerintah pusat tidak sejalan dengan aparat penegak hukum," ujar dia.

Dia juga melihat kriminalisasi tersebut juga disebabkan adanya Undang-Undang  (UU) yang multi tafsir. Untuk itu dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk hati-hati dalam menyusun kalimat hukum dalam UU.

Mengenai kekhawatiran adanya kriminalisasi ini, Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan penegak hukum. Harapannya dengan adanya jaminan hukum, pelaku usaha tidak perlu lagi menunggu persetujuan perizinan hingga bertahun-tahun.

Menurut dia, saat ini sudah ada pertemuan dengan Bareskrim Polri. "Dari hasil pertemuan, ada komitmen kalau kebijakan tidak merugikan masyarakat atau keuangan negara, tidak akan menghukum," ujar Djoko.

Reporter: Arnold Sirait