RUU Minerba Segera Diundangkan, Berikut Poin-poin Penting dan Krusial
DPR bakal mengmbil keputusan terkait Revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba) dalam sidang paripurna pada hari ini, Selasa (12/5) pukul 14.00 WIB. Sejumlah poin dalam revisi beleid itu patut menjadi sorotan.
Salah satunya mengenai jaminan perpanjangan izin pertambangan batu bara. Pemerintah dan DPR sepakat merubah Pasal 169 A dalam RUU Minerba menjadi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengelolaan Batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi sejumlah persyaratan.
Kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Hal itu sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Sedangkan dalam UU Minerba Pasal 169 A hanya menyebutkan bahwa KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Adapun ketentuan yang tercantum sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
(Baca: Pemerintah Ingin Aturan Divestasi 51% Lebih Luwes dalam RUU Minerba)
Selain itu, pemerintah dan DPR sepakat memberi jaminan aturan perpanjangan kontrak bagi pertambangan mineral seperti tertuang dalam Pasal 47 (a) draft RUU yang baru. Dalam pasal itu disebutkan bahwa jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Jika dibandingkan dalam UU Minerba Pasal 47 ayat 1, Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing sepuluh tahun.
Meski sama-sama dapat diperpanjang, namun UU Minerba tak menyebutkan ada jaminan dari pemerintah. Selain itu, dalam draft RUU Minerba yang baru pasal 47 (g) menyebutkan bahwa pertambangan batu bara yang terintegrasi dengan kegiatan pengembangan atau pemanfaatan selama 30 tahun akan dijamin memperoleh perpanjangan 10 tahun setiap kali perpanjangan.
Poin krusial lainnya yaitu menyangkut luas lahan pertambangan. Dalam pasal 83 c menyebutkan luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi Pertambangan Mineral logam atau Batu bara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Menteri terhadap rencana pengembangan seluruh wilayah yang diusulkan oleh pemegang IUPK.
Padahal, dalam UU Minerba pasal tersebut menyebutkan luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batu bara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 hektar.
(Baca: Fraksi Demokrat Tolak Pembahasan RUU Minerba Dilanjutkan ke Paripurna)
Selain itu, ada dua poin lain yang menjadi sorotan dan perdebatan antara pemerintah dan Komisi VII dalam Rapat Kerja pada Senin (11/5). Perdebatan tersebut terkait Pasal 102 mengenai kegiatan pengolahan dan pemurnian dan Pasal 112 tentang divestasi badan usaha.
Dalam usulan Pasal 102 RUU Minerba sebelumnya disebutkan kewajiban membangun smelter bagi penambang berdasarkan peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan dalam negeri. Namun, pemerintah mengusulkan agar diganti menjadi kebutuhan pasar.
Sebab, beleid tersebut tidak menjelaskan substansi mengenai peningkatan nilai ekonomi yang ditargetkan pemerintah. Selain itu, frasa kebutuhan dalam negeri juga dinilai kurang tepat.
Pasalnya, jika tidak ada industri yang menyerap hasil pengolahan dan pemurnian, penambang tidak lagi memiliki kewajiban membangun smelter. Akhirnya Komisi VII sepakat atas usul pemerintah mengganti frasa tersebut menjadi kebutuhan pasar.
Jika dibandingkan dengan UU Minerba, Pasal 102 berbunyi pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batu bara. Namun, pasal tersebut tidak menambahkan rincian aturan seperti dalam RUU Minerba.
Kemudian. Pasal 112 RUU Minerba berbunyi Badan Usaha pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham secara langsung sebesar 51% secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha swasta nasional.
Namun, pemerintah meminta agar kata secara langsung dalam pasal 112 itu pun dihapus. Di sisi lain, Pemerintah juga mengusulkan agar aturan divestasi tidak dimasukkan ke dalam RUU Minerba.
Usulan tersebut sempat ditentang oleh Komisi VII DPR. Namun, kedua pihak menyepakati untuk memasukan kewajiban divestasi ke dalam RUU Minerba. Namun, kewajiban divestasi bisa dilaksanakan secara berjenjang.
Adapun pasal 112 revisi dari hasil rapat kerja Senin (11/5) lalu menjadi berbunyi Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi sebesar 51% secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha swasta nasional.
Sedangkan Pasal 112 dalam UU Minerba berbunyi, setelah lima tahun berproduksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Hanya saja di sini tidak disebutkan bahwa divestasi saham dilakukan secara berjenjang.
(Baca: Pakar Hukum UI Usul RI jadi Pengendali Usaha Tambang Pasca Divestasi)