Pertamina melanjutkan rencana initial public offering (IPO) anak usaha di sektor hulu. Meskipun, rencana tersebut ditentang beberapa kalangan termasuk serikat pekerja anak usaha.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjelaskan perusahaan perlu pendanaan yang sangat besar untuk mengembangkan bisnisnya. Pencarian dana melalui mekanisme IPO dinilai lebih mudah dibandingkan menerbitkan surat utang atau mencari pinjaman.
"IPO lebih fleksibel dan nggak perlu kembalikan pinjaman. Ini yang melatarbelakangi untuk IPO," kata Nicke dalam diskusi secara virtual, Minggu (26/7).
Berdasarkan paparan Pertamina, dana yang dibutuhkan perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya dalam enam tahun ke depan mencapai US$ 133 miliar atau sekitar 1.938 triliun. Dengan rincian, 47% dari dana internal, 10% project financing, 28% external fund, dan 15% equity financing.
Selain itu, mekanime melepas anak usaha melantai di bursa saham merupakan hal yang wajar bagi perusahaan multinasional. Apalagi, Nicke menyebut, IPO subholding hulu migas bukan bagian dari privatisasi karena tak akan ada aset negara yang dilepas kepada perusahaan swasta.
Di sisi lain, Nicke menjelaskan mengenai restrukturisasi anak usaha. Menurut dia, restrukturisasi tak akan membuat hak pekerja berkurang. Perusahaan justru berencana meluncurkan program hak pekerja yang bisa diakses semua karyawan.
Nicke juga membantah restrukturisasi membuat bisnis perusahaan menjadi rumit. Menurutnya, restrukturisasi justru berdampak positif bagi bisnis hulu migas perusahaan .
Pasalnya, anak usaha Pertamina bisa menggunakan fasilitas bersama seperti pipa salur, barge, dan tug boat, pemanfaatan bersama peralatan kerja seperti rig pengeboran, dan optimalisasi serta efektifitas biaya operasi melalui penggabungan wilayah kerja atau aset dengan satu manajemen.
"Kami bongkar semua batasan di masing-masing anak usaha, kami sharing fasilitas dan aset lainnya. Pengadaan pun bersama-sama agar lebih efisiensi dan cepat prosesenya. Jadi tidak lagi investasi atau pengadaan sendiri," kata Nicke.
Sebelumnya, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina EP (SPPEP) Tata Musthafa menilai bahwa rencana restrukurisasi dengan pelepasan aset negara melalui skema IPO upstream subholding merupakan upaya privatisasi. Hal itu dikhawatirkan mengurangi pemasukan negara dari sektor migas.
Apalagi, PT Pertamina EP (PEP) merupakan pengelola dari aset-aset operasional yang berstatus Barang Milik Negara (BMN) di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. PEP juga merupakan KKKS yang memiliki wilayah kerja yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pembiayaan proyek PEP pun dilaksanakan melalui pengembalian biaya operasi (cost recovery) oleh negara. Oleh karena itu, Tata menilai PEP tidak seharusnya menjadi bagian dari subholding upstream, melainkan tetap menjadi anak usaha Pertamina.
"Kami mendorong perusahaan untuk memberikan penjelasan terkait strategi PEP dalam menjaga operasional pasca-implementasi holding dan subholding," ujar Tata dalam keterangan tertulis pekan lalu.