Investasi LNG Mati Suri Terdampak Pandemi

www.badaklng.co.id
Ilustrasi. Konsultan Wood Mackenzie mencatat tidak ada ekspor baru LNG yang disetujui pada tahun ini secara global karena terdampak pandemi Covid-19.
Penulis: Sorta Tobing
10/9/2020, 13.23 WIB

Proyek gas alam cair atau LNG pada 2020 seolah mati suri. Konsultan Wood Mackenzie mencatat tidak ada ekspor baru yang disetujui pada tahun ini secara global. Kondisinya serupa ketika krisis moneter melanda Asia pada 1998.

Pandemi Covid-19 telah menurunkan permintaan energi dan menjatuhkan harganya. Hal tersebut memaksa perusahaan minyak dan gas bumi (migas) untuk menunda keputusan proyek terbaru, termasuk investasi pembangunan kilang.

“Kami tidak mengharapkan ada FID (keputusan investasi akhir) besar pada proyek ekspor LNG tahun ini,” kata ahli strategi komoditas utama Morgan Stanley untuk gas alam dan listrik Devin McDermott, mengutip dari Reuters, Rabu (9/9).

Perkiraannya, proyek pra-FID akan tertunda selama satu hingga dua tahun ke depan karena banyak perusahaan melakukan pemotongan dan penundaan belanja modal (capex) serta kesulitan mendapatkan pembeli. Sebelum pandemi corona, volume kapasitas ekspor baru LNG pada tahun ini diperkirakan serupa dengan rekor tahun lalu yang mencapai lebih dari 70 juta ton per tahun.

Di Amerika Serikat saat ini tidak ada ruang untuk proyek baru sampai pertengahan dekade setelah kapasitas kilangnya bertambah tahun lalu. Sebanyak 21 juta ton per tahun kapasitas LNG di AS mulai beroperasi pada 2019 dan lebih dari 16 juta ton berkontribusi besar pada kelebihan gas global.

Analis minyak dan gas senior Bernstein & Co, Oswald Clint, mengatakan penundaan investasi dan proyek LNG dapat berlangsung selama 12 hingga 18 bulan ke depan. Hal ini membantu menciptakan harga yang lebih tinggi pada tahun 2025 dan menguntungkan perusahaan minyak besar.

“Jika Anda adalah perusahaan besar, Anda mengkhawatirkan harga komoditas, bukan volumenya. Anda tidak harus menginvestasikan uang pada tahun 2020 untuk melindungi neraca Anda, ”kata Clint.

Harga Jatuh, Kontrakor LNG Ragu

Di Indonesia, pandemi corona juga membuat proyek LNG terganggu. SKK Migas mengatakan harganya yang jatuh membuat kontraktor ragu untuk melanjutkan proyeknya.

Harga LNG sempat jatuh ke level US$ 2 per juta British Termal Unit (MMBTU) pada Juni 2020. “Ini yang membuat ketakutan project owner, seperti Lapangan Abadi Masela mengeksekusi proyeknya ke depan,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada 2 Juli lalu. Perkiraannya, kondisi industri hulu migas akan membaik dan harga LNG pulih pada Desember 2020.

Proyek Blok Masela telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Lokasi Pengadaan Lahan untuk Pelabuhan Kilang LNG Abadi pada 1 Juni 2020. Kilang tersebut rencananya dibangun di Kepulauan Tanimbar.

Selain itu, Inpex selaku operator Blok Masela telah memulai proses front end engineering design (FEED) untuk proyek LNG di darat atau floating production and offloading (FPSO), pipa gas ekspor, serta subsea umbilical, riser, and flowline (SURF). Proyek tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal kedua 2027. Setahun lebih lambat dari target awal pemerintah.

Produksi gas berupa LNG dari Blok Masela diproyeksi mencapai 9,5 metrik ton per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Blok tersebut juga menghasilkan kondensat sebesar 35 ribu barel per hari. Untuk investasi proyek Masela, Inpex Corporation harus menggelontorkan dana hingga US$ 19,8 miliar.

Melansir dari data SKK Migas, harga LNG cenderung mengalami penurunan sejak 2015 setelah harga minyak dunia merosot. Harga rata-rata tertimbang gas Indonesia untuk ekspor dalam bentuk LNG pada 2016 anjlok hampir 48% ke US$ 4,52 per MMBTU. Harga gas domestik dalam bentuk LNG juga turun 47,5% ke US$ 3,25 per MMBTU.