Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi corona, Australia terus menggenjot pembangunan megaproyek pembangkit listrik tenaga surya alias PLTS terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung, proyek ini diproyeksikan menelan biaya sebesar 22 miliar dolar Australia (sekitar Rp 235 triliun).
Proyek yang digarap Sun Cable ini akan mengekespor listrik ke Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 3.700 kilometer. Harapannya, ketika proyek mulai beroperasi di 2027, sekitar 20% kebutuhan listrik negara itu dapat terpenuhi.
PLTS jumbo tersebut bakal berada di lahan seluas 12 ribu hektare dengan dukungan penyimpanan baterai sebesar 30 gigawatt hour (GWh). "Proyek ini memanfaatkan teknologi tenaga surya kelas dunia Australia untuk mengekspor energi terbarukan dalam skala besar," kata Menteri Industri, Sains dan Teknologi Australia Karen Andrews, dikutip dari globalconstructionreview.com, pada Juli lalu.
CEO Sun Cable David Griffin menyebut pembangunan PLTS itu merupakan tonggak penting untuk mewujudkan proyek Australian-ASEAN Power Link (AAPL). Perusahaan rintisan asal Siangpura itu pun berencana menghubungkan PLTS jumbonya ke Indonesia di masa depan.
"Proyek ini membantu menumbuhkan industri baru, memanfaatkan sistem transmisi kabel listrik bertegangan tinggi (HVDC) bawah laut antarbenua, untuk memasok energi terbarukan ke Indo-Pasifik dan mendukung tujuan rendah emisi di kawasan itu," kata Griffin.
Singapura sejak lama mengandalkan gas alam, sebagian dari Indonesia, untuk menyalakan pembangkit listriknya. Data 2016 pemerintah setempat menunjukkan 95% listrik negara itu berasal dari gas alam, sisanya baru bara, minyak bumi, limbah kota, dan surya.
Negara tersebut memiliki sumber energi terbarukan yang terbatas. Satu-satunya yang potensial adalah energi surya. Targetnya, pada 2030 Singapura akan mengalirkan listrik surya ke 350 ribu rumah tangga. Angka ini mewakili 4% total kebutuhan listrik Negeri Singa.
Di saat yang sama, Indonesia pun tak berencana untuk memperpanjang kontrak gas dengan Singapura. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun lalu memutuskan untuk menghentikan pengiriman pasokan gas bumi dari Blok Corridor ke negara itu setelah kontraknya berakhir pada tahun 2023.
Tujuan penghentian itu adalah menggenjot pemanfaatan pasokan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. "Gas masih banyak di Sumatera, suplai ke Singapura berakhir 2023 akan kami tarik ke dalam negeri," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif ketika itu.
Gas yang semula dipasok ke Singapura akan dialirkan melalui pipa Duri-Dumai ke seluruh Sumatera. Pengaliran gas kemudian akan dilanjutkan ke seluruh pulau Jawa. Saat ini, pemerintah juga mulai melakukan penjajakan kepada pengelola sumur gas yang berada di wilayah Sumatera.
Dampak Proyek PLTS Jumbo Australia ke Indonesia
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto menilai proyek AAPL menunjukkan perkembangan teknologi berkembang pesat. Pemerintah perlu menyiapkan strategi dan konsep inovasi yang mampu mengantisipasi disruption technology terhadap sistem yang sudah ada.
"Ini tidak bisa dihindari dan harus diantisipasi supaya kita bisa melakukan persiapan perubahan sebagai bagian upaya adaptasi kepada kondisi yang baru," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (22/9).
Namun, saat ditanya lebih lanjut mengenai peran yang akan diambil oleh pemerintah, dirinya enggan berkomentar lebih jauh. Begitu juga dengan dampak dari beroperasinya proyek PLTS Australia terhadap proyek-proyek pengembangan energi terbarukan (ET) di Indonesia.
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai proyek PLTS skala raksasa di Australia itu bukan ancaman bagi industri energi terbarukan di dalam negeri.
Prediksinya, harga jual listriknya bakal lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan di Indonesia. "Bahwa ada kemungkinan memasok ke Indonesia mungkin saja, tapi sekali lagi biaya akan sangat menentukan dan saya duga harganya tidak murah," kata Fabby.
Indonesia sebenarnya juga berpotensi mengembangkan energi surya. Pemerintah dapat mendorong pengembangannya dengan teknologi PLTS Atap yang listriknya dikonsumsi langsung konsumen atau dijual ke PLN.
Apalagi, dari target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025, energi surya setidaknya menyumbang 6,5 GW atau 15% dari total penambahan kapasitas pembangkit ET. Tanpa didorong proyek di Australia, Fabby menilai seharusnya target ini dapat tercapai.
Guna meningkatkan penambahan PLTS Atap di Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan mengalihkan dana subsidi listrik ke pembangunan pembangkit listrik itu di masing-masing rumah tangga tak mampu. Langkah ini juga mampu memangkas subsidi listrik untuk jangka yang cukup lama. "Sudah dibahas sejak Mei lalu dan ini salah satu cara untuk mengejar penambahan PLTS di Indonesia," kata dia.
Bila rencana besar ini terealisasi, pemerintah tidak perlu lagi memberikan tambahan subsidi listrik yang selama ini membebani keuangan negara. Selain itu, penggunaan PLTS Atap juga bakal berdampak pada biaya yang dikeluarkan PLN dalam memproduksi energi setrum.
Kementerian ESDM mencatat pelanggan PLN yang telah memasang PLTS Atap terus bertambah dari tahun ke tahun. Angkanya mencapai 2.346 pelanggan pada Juni 2020 dengan total kapasitas mencapai 11,5 megawatt (MW). Para pelanggan telah memasang pembangkit tersebut di 16 provinsi.
Sejak Desember 2018, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini, jumlah pelanggan yang memasang PLTS Atap menunjukkan peningkatan. Lebih dari 80% pemakainya merupakan pelanggan rumah tangga.
Angka terbanyak dari DKI Jakarta, yakni 703 orang pelanggan. Jawa Barat menyusul di urutan kedua dengan 656 pelanggan pemasang PLTS Atap. Kemudian Banten (544 pelanggan) dan Jawa Timur (191 pelanggan).
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris, sebelumnya menyebutkan pemerintah tengah menyiapkan konsep soal subsidi PLTS Atap. Upaya ini sebagai langkah mengejar target bauran energi terbarukan. “Kami mencoba menyisihkan atau memindahkan peruntukkan subsidi ke PLTS atap,” kata Harris.
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) justru melihat adanya peluang kerja sama dengan berjalannya megaproyek jumbo yang sedang dikerjakan Autralia tersebut. Kerja sama ini dapat saling melengkapi keamanan energi suatu negara dan mendukung pasokan listrik yang semakin kompetitif dan terjangkau.
Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang berpendapat, proyek AAPL ini dapat berdampak positif bagi sistem kelistrikan Indonesia agar semakin kompetitif. "Sudah waktunya berpikir ke arah sistem regional dengan potensi kerja sama interkoneksi sehingga terintegrasi," ujarnya.
Proyek AAPL juga dapat merangsang pertumbuhan konsumsi listrik per kapita yang masih rendah di Asia Tenggara. Lalu, PLTS tersebut dapat menciptakan transfer ilmu sehingga energi terbarukan dapat mengejar skala keekonomian. "Sinergi ini yang harus dilihat sebagai peluang untuk Indonesia," kata dia.
Pembentukan Badan Pengelola EBT
Guna mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025, DPR dan pemerintah tengah mengggodok rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU EBT. Rancangannya telah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
DPR menerima usulan dan masukan dari berbagai pihak untuk penyusunan RUU EBT. Pembahasannya melibatkan pemerintah dan kalangan pengusahaan. Harapannya, investasi di sektor ini mulai tumbuh.
Dari berbagai usulan yang masuk, pemerintah dan DPR disarankan untuk membentuk badan pengelola EBT. Badan ini dapat bertugas menyusun strategi implementasi energi terbarukan untuk mencapai kebutuhan energi nasional.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi Terbarukan Halim Kalla menyebut pengembangan energi baru terbarukan berjalan lamban. Pemicunya, regulasi yang berubah-ubah sehingga pelaku usaha setengah hati terjun ke bisnis ini.
Melalui RUU EBT ini, serta melihat kondisi yang ada, Kadin mengusulkan agar segera dibentuk badan pengelola yang bertanggung jawab mengatur dan mempercepat pemanfaatan EBT. "Badan pengatur ini mengawasi betul, baik aturan main dan lokasi, sehingga memacu pemerintah meningkatkan porsi bauran EBT," kata Halim.
Masyarakat Energi Baru Terbarukan (METI) sebelumnya mengusulkan adanya badan pengelola yang bertanggung jawab mengatur sumber energi baru terbarukan secara independen. Ketua METI Surya Darma mengatakan badan tersebut dapat bertugas menyusun strategi implementasi EBT untuk mencapai kebutuhan energi nasional.
Dalam menjalankan tugasnya, badan pengelola energi terbarukan atau BPET diharapkan dapat berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait, badan usaha milik negara (BUMN), BUMD, BUMDes, koperasi, swasta, maupun perorangan. "Ini sama sekali belum diatur dalam draf UU EBT. Ini perlu dibentuk," ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Wiluyo Kusdwihatmo juga mendorong perlunya pembentukan BPET. Pasalnya, badan ini mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab guna memastikan efektifitas pengendalian pelaksanaan kegiatan usaha dan pemanfaatan EBT.
Selain itu, tugas BPET juga dapat mengelola proses EBT untuk menggantikan energi fosil secara bertahap. Lalu, badan ini juga dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta memberi dukungan kebijakan regulasi, menyiapkan konsep pendanaan rendah karbon, dan implementasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN). "Kami menyarankan, perlu dibentuk badan pelakasana EBT," ujarnya.