Proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU akan semakin sulit mendapat pendanaan. International Finance Corporation (IFC), anggota Bank Dunia, telah menghentikan investasinya ke lembaga keuangan Afrika dan Asia yang masih mendukung proyek batu bara. Aturan ini berlaku mulai 17 September lalu.
Langkah tersebut sebagai upaya mendukung energi berkelanjutan dan mencegah perubahan iklim. IFC saat ini memiliki banyak saham di bank komersial besar, terutama di pasar negara berkembang. Pembatasan ke proyek batu bara harapannya akan memicu investor keluar dari sektor itu. “Secara historis, kebijakan dan prosedur lingkungan kami telah diadopsi oleh lembaga keuangan lain dan pasar secara umum,” kata Kepala Pembiayaan Iklim IFC Peter Cashin, Kamis (24/9), kepada Reuters.
Lembaga itu akan memastikan bank-bank di bawahnya mengurangi eksposur ke proyek batu bara hingga 0% pada 2030. Para pegiat perubahan iklim menyambut baik langkah tersebut. Hal ini mengirimkan pesan yang jelas kepada perbankan komersial dan sektor asuransi bahwa keuangan publik tidak lagi tersedia untuk lembaga-lembaga yang mendukung proyek batu bara.
Tak hanya lembaga keuangan, perusahaan multinasional General Electric (GE) pun memutuskan keluar dari bisnis PLTU yang dikerjakan oleh anak usahanya, GE Steam Power. Wakil Presiden Senior GE dan CEO GE Power Portofolio Russel Stokes mengatakan pihaknya akan fokus dan berinvestasi ke energi terbarukan dan pembangkit listrik yang lebih terjangkau, andal, mudah diakes dan berkelanjutan.
"Dengan transformasi berkelanjutan, kami fokus pada bisnis pembangkit listrik yang memiliki keekonomian dan pertumbuhan menarik," kata dia pada Senin lalu.
Di Indonesia, PLTU yang berencana memakai mesin dari GE adalah PLTU Tanjung Jati A (Jawa 3) yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat dan berkapasitas 1.320 megawatt (MW). Proyek ini masih tahap perencanaan dan tertunda.
Konsorsium yang mengerjakannya adalah PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) dan YTL Jawa Energy BV, dengan kepemilikan masing-masing 20% dan 80%.
Sebagai informasi, Tiongkok merupakan negara dengan pemilik PLTU terbesar di dunia. Berdasarkan data Carbon Brief, total kapasitas pembangkit batu bara di Tiongkok mencapai 972,5 ribu megawatt. Negara itu memiliki 97 ribu megawatt dalam radius 250 kilometer sepanjang delta Sungai Yangtze, sekitar Shanghai.
Selain Tiongkok terdapat pula India dan Jepang. Masing-masing memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 220,7 ribu megawatt dan 45,6 ribu megawatt.
Dampak Bagi Indonesia
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan tren global saat ini adalah lembaga keuangan tak lagi mendanai pembangkit listrik berenergi fosil. Kondisi ini akan berdampak pada proyek batu bara di masa depan.
Pembiayaan PLTU akan semakin sulit dan mahal. Pemerintah Jepang dan Korea juga telah menyatakan tidak akan lagi membantu pembiayaan pembangkit tersebut di masa depan. “Harga listrik yang diproduksi PLTU jadi mahal,” kata Fabby.
Pengembangan pembangkit itu pun sebenarnya bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam pengurangan emisi karbon. Sudah banyak penelitian menunjukkan emisi dari PLTU mengandung berbagai macam polutan yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
PLTU yang beroperasi di Indonesia usianya cukup tua, rata-rata 20 tahun. Tingkat efisiensinya hanya 30% sampai 34% dan baku emisinya masih tinggi.
Tahun lalu, polusi udara di Jakarta sempat menjadi sorotan lantaran masuk yang terburuk di dunia. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Greenpeace menyebut salah satu kontributornya adalah PLTU. Terdapat 10 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang berjarak 100 kilometer dari ibu kota seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Walhi menyebut PLTU menyumbang 20% sampai 30% polusi udara di ibu kota, sedangkan transportasi 30% hingga 40%. Tudingan ini dibantah oleh PLN. Perusahaan pelat merah itu mengatakan 70% polusi udara Jakarta disumbang kendaraan bermotor. PLTU milik PLN telah dilengkapi teknologi penangkal polusi, seperti super ultra critical.
Nah, dampak keputusan IFC terhadap proyek PLTU yang masuk dalam program 35 ribu megawatt, menurut Fabby, tidak terlalu besar. Sebagian besar pembangkit yang masuk dalam program ini sudah masuk dalam fase financial closing dan konstruksi.
Sumber pendanaannya berasal dari lembaga keuangan Korea, Jepang dan Tiongkok. Hanya sekitar tiga gigawatt hingga empat gigawatt (GW) yang masih dalam fase perencanaan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat berhentinya pembiayaan IFC mempunyai dampak terhadap perkembangan pembangkit PLTU di Indonesia. Karena itu, program 35 ribu megawatt sebaiknya dievaluasi kembali. Apalagi, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia tidak mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Program 35 ribu megawatt juga cukup memberatkan PLN dengan skema take or pay. PLN wajib membeli listrik dari PLTU yang sudah beroperasi. "Saya menyarakan agar PLN melakukan renegosiasi dengan produsen listrik swasta (IPP) saat ini," kata dia.
PLN
Executive Vice President Communication and CSR PLN Agung Murdifi mengatakan, dalam membangun pembangkit listrik, perusahaan mengacu pada rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL yang disahkan pemerintah.
Rencana itu disusun untuk memastikan pasokan listrik ke masyarakat dan dunia usaha tercukupi dan handal. Untuk RUPTL 2020-2029 sedang dalam tahap pembahasan dengan mempertimbangkan faktor eksternal dan internal. "Seperti pandemi Covid-19 yang berdampak pada pertumbuhan konsumsi listrik," ujarnya.
Dalam RUPTL 2019-2028, pemerintah menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk pembangkit meningkat menjadi sebesar 23,2% pada 2028 atau dua kali lipat dari 11,4% pada 2019. Untuk pembangkit listrik dari batu bara turun menjadi 54,45% pada 2028 dari 62,7% pada 2019.
PLN saat ini juga tengah berupaya untuk merampungkan proyek pembangkit 35 ribu megawatt. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyebut pembangkit yang telah beroperasi mencapai 8.400 megawatt atau 24% dari target.
Hingga Agustus ini, proyek yang dalam tahap konstruksi sebesar 19 ribu megawatt atau 54%. Untuk pembangkit yang masih negosiasi kontrak atau power purchase agreement (PPA) mencapai 6.500 megatt.
Sisanya, sebesar 839 megawatt dalam proses pendanaan dan 724 megawatt masih proses perencanaan. "2028 hingga 2009 diharapkan program 35 ribu MW bisa selesai," ujar Arifin.
Menurut data endcoal.org, ada proyek pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia yang status pendanaannya masih pending. Pembangkit itu adalah PLTU Suralaya 9 dan 10, PLTU Jambi, PLTU Indramayu, PLTU Sulawesi, PLTU Celukan Bawang, PLTU Tanjung Jati A, PLTU Bataan, PLTU Banten, PLTU Nagan Raya, dan PLTU Amman Mineral.