Sinyal Kuat Perpanjangan Izin Pertambangan Batu Bara Kakap

123RF.com/r4yhan
Ilustrasi. Pemerintah tengah merampungkan aturan turunan UU Minerba untuk memberi kepastian PKP2B perusahaan batu bara yang akan habis kontraknya.
30/9/2020, 15.45 WIB

Hasil tambang itu kerap menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia. Data Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspornya pada 2018 mencapai US$ 20,63 miliar atau setara Rp 289 triliun. Jumlah tersebut meningkat 15,42% dari tahun sebelumnya, seperti tampak pada grafik Databoks di bawah ini.

Nah, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan sebesar 147,6 miliar ton yang tersebar di 21 provinsi. Dari jumlah tersebut, sumber daya paling banyak terdapat di Sumatera Selatan, yakni 50,2 miliar ton.

Protes Pengesahan RPP Pertambangan Bermunculan

Belum rampung urusan izin, berbagai protes bermunculan seiring penyusunan aturan turunan UU Minerba. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mendesak pemerintah membatalkan pembahasan sejumlah RPP itu.

Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menilai pembahasan aturan sebaiknya ditunda sampai proses judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi selesai. Gugatan undang-undang itu telah masuk ke MK pada pertengahan Juli lalu.

Pemerintah sebaiknya lebih cermat dalam proses penyusunan RPP karena proses hukum lain sedang berjalan. "Bisa dikatakan (RPP) itu akan mubazir apabila judicial review dikabulkan," ujar Arip dalam diksusi secara virtual, pada 15 September lalu.

Peneliti Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho menilai RPP turunan yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah sarat dengan polemik. Salah satu pasal yang bermasalah adalah terkait permohonan izin dan perubahan perpanjangan kontrak dari PKP2B menjadi IUPK.

Dia menduga pembahasan RPP tersebut dikebut guna memfasilitasi PKP2B yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat. "Menteri ESDM punya beberapa staf khusus termasuk percepatan perbaikan tata kelola minerba," ujarnya.

Pemerintah sebaiknya menunggu hasil putusan MK atas UU Minerba sebelum membahas dan menetapkan PP turunannya. "Alangkah lebih bijak pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan PP ini," kata dia.

Kapal pengangkut batu bara. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

UU Minerba telah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 10 Juli lalu. Permohonan uji materi diajukan pimpinan kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) karena menganggap aturan itu meniadakan kewenangan daerah dan DPD.

Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengatakan UU Minerba menegasikan kewenangan pemeritahan daerah. Dalam aturan yang baru, seluruh kewenangan pertambangan ditarik ke pemerintah pusat. Karena itu, UU Minerba dianggap bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 serta semangat otonomi daerah.

"Kami mengajukan uji formil ini semata-mata ingin daerah dilibatkan dalam kewenangan pertambangan, apalagi urusan sumber daya alam ini sangat sensitif di masyarakat," ujar Erzaldi.

Pasal yang digugat yakni Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat", sementara ayat (5) berbunyi, "Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

UU Minerba juga dianggap melanggar ketentuan UUD 1945 karena tak melibatkan DPD. Hal ini bertentangan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan