Mencari Jalan Keluar untuk Minyak "Nganggur"di Lapangan Banyu Urip

Dok. Chevron
Ilustrasi. SKK Migas membuka opsi mengekspor minyak mentah bagian pemerintah dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. .
27/10/2020, 17.42 WIB

Pandemi corona membuat permintaan bahan bakar minyak atau BBM menurun. Penyerapan minyak mentah alias crude dalam negeri pun ikut anjlok. Kondisi ini membuat produksi kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS menjadi berlebih.

Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Jawa Timur sedang mengalami keadaan tersebut. Untuk menghindari pengurangan atau pembatasan produksi (curtailments), SKK Migas berencana melakukan ekspor minyak mentah hasil produksi ExxonMobil itu.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan rencana ekspor bagian pemerintah itu sudah sangat mendesak terlaksana. Pasokan minyak mentah sudah sangat berlebih. Pertamina secara keekonomian juga tengah menyewa kapal untuk tempat penyimpanan. Tangki-tangki darat yang menganggur juga sudah dimanfaatkan maksimal.

Apabila tak kunjung melakukan ekspor, pada 6 November 2020 akan terjadi pemangkasan produksi di Lapangan Banyu Urip. "Jadi ini memang kondisi darurat, kalau tidak ada storage lagi ya harus mengurangi produksi dan akibatnya target lifting (produksi siap jual) minyak tidak tercapai nantinya," kata dia.

VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengakui penurunan permintaan BBM selama pandemi corona turut berimbas pada serapan crude dalam negeri. Secara umum minyak mentah yang diserap di Kilang Pertamina mengalami penurunan kurang lebih 20% dari kondisi normal.  "Ekspor menjadi salah satu opsi yang dapat diambil, khususnya minyak mentah bagian pemerintah," kata dia.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko sebelumnya mengatakan Pertamina tak mampu menyerap produksi minyak Lapangan Banyu Urip. Konsumsi BBM pun belum menunjukkan pemulihan.

Tanpa ekspor, ExxonMobil berpotensi memangkas produksinya. Tapi langkah ini pun tidak tepat karena kebutuhan minyak mentah dalam negeri dalam kondisi normal mencapai dua kali lipat dari produksi domestik. Pertamina pun masih mengandalkan impor crude dan BBM.

Lapangan Banyu Urip merupakan salah satu lapangan minyak andalah Indonesia. Produksinya berkontribusi besar terhadap target lifting pemerintah. Pada semester pertama 2018, ExxonMobil sempat menggeser posisi PT Chevron Pacific Indonesia sebagai kontraktor dengan produksi terbesar, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

SKK Migas Gandeng KPK

SKK Migas telah bertemu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk meminta pendapat soal ekspor minyak mentah tersebut. “Kami juga melibatkan beberapa pihak untuk menjaga compliance dan masalah yang dapat timbul di kemudian hari,” kata Arief pada akhir pekan lalu.

Saat dikonfirmasi mengenai hal itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan membenarkan jika SKK Migas meminta arahan terkait rencana ekspor minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip. Arahannya terutama terkait penjualan crude yang kemungkinan besar di bawah harga patokan minyak mentah Indonesia atau ICP.

Kementerian dan lembaga terkait berencana melakukan pertemuan hari ini guna membahas persoalan tersebut. “Rapatnya dengan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” katanya kepada Katadata.co.id.

Pahala mengusulkan agar pemerintah segera membuat peraturan menteri ESDM yang mengatur penjualan minyak mentah di bawah ICP. Lalu, perlu pula melakukan revisi peraturan menteri keuangan atau PMK. "Karena kondisinya darurat maka boleh di bawah ICP. Asal lelangnya terbuka untuk jangka waktu satu tahun saja, misalnya," ucapnya.

Pada pekan lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial telah mengirimkan surat terkait persoalan tersebut ke KPK. Pihaknya tidak berani menabrak aturan dengan mengambil opsi ekspor karena harga lelang biasanya selalu di bawah ICP.

Sementara, kondisinya sudah mendesak karena tempat penyimpanan minyak mentah dalam negeri semakin penuh. Jika opsi ekspor tak bisa dilakukan, maka rencana pemangkasan produksi minyak dalam negeri pun tak bisa terelakan. Dua pilihan ini sama-sama akan merugikan negara.

Selain itu, minyak mentah dalam negeri tak bisa langsung diambil untuk menggantikan impor Pertamina. Pasalnya, crude yang diolah di kilang perusahaan pelat negara itu mempunyai jenis yang berbeda-beda. Berdasarkan laporan SKK Migas, minyak mentah Indonesia apabila diolah di kilang Pertamina lebih banyak mengandung solar. Sementara, permintaan untuk produk BBM jenis ini masih loyo.

Ilustrasi Blok Cepu (Katadata)

Opsi Atasi Oversupply Minyak Mentah

Pahala menyebut beberapa opsi dapat diambil pemerintah untuk mengatasi anjloknya penyerapan minyak mentah dalam negeri. Salah satunya, dengan menampung kelebihan produksi crude di kapal. Dalam hitungannya, biaya penyewaan kapal sekitar US$ 1,5 per barel tiap bulan.

Opsi kedua, mensubstitusi jenis minyak mentah Pertamina. Dampaknya, produk solar akan melimpah di dalam negeri. Lalu, opsi ketiga adalah memangkas produksi. Namun, hal ini berisiko tinggi karena penerimaan negara dapat anjlok.

Opsi keempat, merevisi aturan mengenai penjualan crude di bawah ICP. “Semua opsi itu pasti membuat negara rugi. Tinggal dipilih yang kerugiannya paling sedikit,” ujar Pahala.  

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kondisi kapasitas kilang penampungan minyak mentah Pertamina telah penuh. Pasalnya, perusahaan sempat jorjoran membeli crude dan BBM saat harga minyak jatuh beberapa waktu lalu tapi ternyata konsumsi tak kunjung normal.

Persoalan terbesar yang dihadapi pemerintah sekarang adalah opsi pemangkasan produksi oleh KKKS. Tapi, secara teknis, sangat sulit untuk mematikan produksi sumur minyak. Apabila sumur sudah mati, maka sulit menghidupkannya kembali.

Opsi sumur tetap hidup tapi produksinya berkurang bisa saja KKKS lakukan. Namun, menurut Mamit, biayanya sangat besar. Karena itu, opsi paling mungkin adalah menjual kelebihan pasokan ke luar negeri. “Harapan saya, harganya tidak terlalu jauh di bawah ICP karena mengurangi penerimaan negara. Walaupun ICP sebenarnya lebih mahal dari crude jenis Brent,” ucapnya.

Kelebihan minyak mentah dapat pula disimpan menjadi cadangan minyak nasional. Tapi kondisi tangki timbun domestik tidak memungkinkan karena kapasitasnya kecil. Opsi menyewa tempat penyimpanan milik swasta pun bukan solusi tepat karena biayanya yang mahal. "Biaya sewa ini akan masuk ke cost recovery yang mana? Perlu diskusi dengan berbagai pihak terkait hal ini," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat kondisi over supply minyak mentah dalam negeri sifatnya hanya sementara. Namun, memang beberapa kilang Pertamina sudah menyetop produksi untuk mengurangi beban biaya di tengah penurunan konsumsi.

Di sisi lain, kapasitas penyimpanan minyak mentah dalam negeri terbatas dan tidak bisa menampung kelebihan pasokan. Sumur minyak pun tidak bisa berhenti berproduksi begitu saja. Dengan seluruh kondisi itu, ekspor menjadi pilihan yang tepat. “Ya sah-sah saja ekspor. SKK Migas dapat menggandeng KPK mencari jalan yang tidak bertabrakan dengan aturan,” ucapnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan