Perjanjian karya pertambangan batu bara atau PKP2B milik PT Arutmin Indonesia telah habis masa kontraknya kemarin, Minggu (1/11). Perpanjangan kontrak itu terganjal karena pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu barau (minerba).
Anak usaha PT Bumi Resources Tbk itu telah mengajukan perpanjangan kontrak ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 24 Oktober 2019. Sejumlah persyaratan juga telah Arutmin lengkapi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan apakah kontrak itu diperpanjang mnejadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) atau tidak.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut mengenai nasib kontrak itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin dan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial tak memberikan respons.
Ridwan sebelumnya mengatakan akan mengebut penyelesaian PP turunan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang minerba tersebut. "Semoga proses ini berjalan lancar dan tidak mempersulit pelaku industri," katanya dalam diskusi APBI-ICMA Award 2020 secara virtual pada 27 Oktober lalu.
Ia pun mendorong agar perusahaan yang ingin memperpanjang izin usahanya dari PKP2B menjadi IUPK untuk segera menyelesaikan persyaratan administrasi. “Supaya pemerintah dapat memprosesnya dengan cepat,” ucap Ridwan.
Bumi Resources, perusahaan milik Grup Bakrie, mengatakan masih menunggu konfirmasi final dan formal dari pemerintah. “Dari kami, perusahaan telah memenuhi semua persyaratan,” kata Direktur dan Corporate Secretary Bumi Resources Dileep Srivastava kepada Katadata.co.id.
Arutmin sebelumnya mengatakan pemerintah dan DPR telah sepakat soal jaminan perpanjangan perusahaan. "Jaminan itu juga sudah ditegaskan dalam UU Minerba," kata General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani beberapa waktu lalu.
PP Perpajakan Batu Bara Akan Terbit
Tak hanya kegiatan usaha minerba, PP perpajakan di sektor usaha pertambangan batu bara juga bakal terbit. Aturan ini sedang menunggu tanda tangan dari Presiden Joko Widodo. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut aturannya sangat penting untuk menentukan nasib kontrak perusahaan batu bara.
Penerbitan PP perpajakan bakal menyesuaikan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan serta Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Walaupun kontraknya telah habis kemarin, Yustinus memastikan Arutmin telah dijamin mendapatkan IUPK sesuai UU Minerba yang baru. “Perusahaan tidak perlu khawatir terkait isu kepastian perpanjangan kontrak,” katanya.
Dalam UU Minerba, ada dua pasal yang membahas kepastian PKP2B dan kontrak karya (KK). Pasal 169A mengatakan kedua jenis kontrak itu diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan.
Untuk kontrak yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi perusahaan. Jangka waktu kelanjutan operasi itu paling lama sepuluh tahun setelah berakhirnya KK atau PKP2B.
Dalam pasal 169B menyebutkan, untuk memperoleh IUPK, pemegang kontrak harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum kontrak berakhir.
Menteri dapat memberikan IUPK dengan pertimbangan keberlanjutaan operasi, optimalisasi cadangan minerba, dan kepentingan nasional. Di sisi lain, Menteri ESDM dapat menolak perpanjangan itu apabila pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pertambangan yang baik.
Dampak Kontrak yang Tak Kunjung Diperpanjang
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia atau Perhapi Rizal Kasli mengatakan PP tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan batu bara sebenarnya telah selesai dibahas dan dapat segera disahkan. Namun, pemerintah masih menerima beberapa masukan, termasuk dari Perhapi.
Kondisi itu seharusnya tidak menghambat perpanjangan kontrak Arutmin. "Secara administrasi dan teknis pengelolaan tambang, Arutmin sudah melaksanakannya dengan baik," kata dia.
IUPK untuk Arutmin sebaiknya segera diputuskan agar memberi kepastian hukum. Apabila kegiatan operasionalnya terhenti karena masalah ini, dampaknya akan mengancam pendapatan negara, termasuk pajak, royalti, dan pendapatan asli daerah (PAD).
Devisa negara pun terkena imbas karena sebagian besar produk batu bara untuk ekspor. Lalu, kondisi ini bakal berdampak ke masalah tenaga kerja, lingkungan hidup, keselamatan kerja, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Berikutnya adalah masalah teknis seperti kestabilan lereng dan pemeliharaan peralatan kerja. Areal penambangan menjadi tidak terpelihara yang membuka peluang penjarahan. Kemudian munculnya sponcomb alias oksidasi batu bara apabila tidak dikapalkan dalam waktu tertentu. Ini akan menyebabkan penurunan kualitas dan volume.
Tanpa kepastian perpanjangan kontrak, hal ini juga akan berpengaruh ke perusahaan yang memiliki kerja sama pasokan batu bara dengan Arutmin. "Untuk memulainya lagi membutuhkan dana yang besar dan waktu yang lama," katanya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat, langkah pemerintah yang tak kunjung memberi kepastian kontrak bakal mengganggu investasi sektor batu bara. Para pengusaha yang kontraknya akan berakhir membutuhkan kepastian agar dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya ke depan.
Perusahaan batu bara merupakan bisnis padat modal dan karya. Tanpa ada kejelasan, maka operasional perusahaan tambang akan terdampak cukup panjang. "Yang paling mengkhawatirkan adalah illegal mining yang merugikan banyak pihak terutama sektor lingkungan. Saya kira perlu ada tindakan dari pemerintah untuk segera mengeluarkan PP terkait izin usaha," ujarnya.
Penerbitan PP memang tidak akan memuaskan semua pihak. Apabila ada gugatan UU Minerba, menurut Mamit, aturan turunan bisa saja tetap keluar secara paralel sampai ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Kementerian ESDM seharusnya menyadari kondisi ini dan segera mengambil tindakan. “UU Minerba sudah cukup jelas mengamanatkan perpanjangan kontrak. Jadi, saya kira ESDM harus diingatkan kembali," kata Mamit.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso mengatakan nasib Arutmin tidak akan seperti PT Tanito Harum. Pada Januari tahun lalu, Tanito Harum telah mendapatkan IUPK selama 20 tahun hingga 2039 tapi dibatalkan. Perusahaan akhirnya tak lagi dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.
Masih banyak hal dalam PP pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang perlu pembahasan lebih lanjut. “Saya kira ke hati-hatian itu perlu. Jangan sampai dalam waktu satu tahun PP itu berubah dan menambah citra buruk pemerintah,” kata Budi.
Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) belum mendapat kabar lebih lanjut terkait isu perpanjangan kontrak batu bara. Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia optimistis pemerintah akan mengeluarkan keputusan positif sesuai amatan UU Minerba. "Kami serahkan ke pemerintah. Kami akan mematuhi keputusannya," ujarnya.
Kemungkinan terburuk, menurut dia, perpanjangan izin tambang tak kunjung diberikan adalah penambangan liar dan pengelolaan lingkungan yang terbengkalai. "Tapi sepertinya tidak akan begitu skenarionya," ucap Hendra. Yang pasti, iklim investasi di sektor pertambangan akan terpengaruh situasi ini.
Sebagai informasi, Arutmin merupakan salah satu dari tujuh perusahaan pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya segera habis. Enam perusahaan lainnya adalah PT Kendilo Coal Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal yang kontraknya berakhir pada 2021, PT Adaro Energy Tbk pada 2022, PT Multi Harapan Utama pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, dan PT Berau Coal pada 2025.