Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan rare earth element (REE) alias logam tanah jarang (LTJ). Komoditas tambang ini memiliki peran strategis dalam pengembangan industri pertahanan berteknologi tinggi di Tanah Air.
Pemanfaatannya di Indonesia mulai santer terdengar ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan pertemuan pada awal Juli lalu. Keduanya membicarakan mengenai potensi logam tanah jarang yang dapat dimaksimalkan.
Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur cincin api membuat potensi keberadaan mineral itu sangat besar. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan PT Timah Tbk sedang memulai pengembangannya.
Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) Batan Yarianto Sugeng Budi Susilo mengatakan pemerintah telah membuat kelompok kerja dalam mengembangkan rare earth. Termasuk dalam lingkup pekerjaannya adalah menginventarisasi dan eksplorasi sumber daya serta cadangan logam tanah jarang.
Dalam pokja tersebut, Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (PSDMBPB) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertindak sebagai koordinator. Logam tanah jarang biasanya ditemukan dalam mineral fosfat monasit dan xenotime.
Berdasarkan data dari PSDMBPB sumber daya bijih monasit berkisar di angka 7 miliar. Untuk logam tanah jarangnya mencapai 191,2 ribu ton. Persebaran monasit terbanyak berada di sekitar sumber timah, dari Kepulauan Riau hingga Bangka Belitung.
Data sumber daya dan cadangan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) milik Timah, paling tidak ada sekitar 22 ribu ton monasit yang tersimpan dengan baik. Kandungan logam tanah jarang dari monasit itu mencapai 60%.
Kegiatan eksplorasi rare earth, selain di daerah sumber timah alias tin belt, telah dilakukan juga di Provinsi Riau, Tapanuli Utara (Sumatera Utara), Ketapang dan Bengkayang (Kalimantan Barat), Banggai (Sulawesi Tengah), dan Mamuju (Sulawesi Barat).
Namun, secara keseluruhan belum dapat ditentukan sumber daya dan cadangan logam tanah jarang di Indonesia. "Kegiatan eksplorasi masih perlu dilaksanakan secara intensif dan sistematis untuk mendapatkan data sumber daya dan cadangan," kata Yarianto kepada Katadata.co.id, Rabu (25/11).
Timah Kembangkan Potensi Logam Tanah Jarang
Sekretaris Perusahaan Timah Muhammad Zulkarnaen mengatakan pihaknya telah membangun proyek percontohan pengolahan monasit menjadi rare earth hydroxide (REOH) di Tanjung Ular, Bangka Barat sejak 2015.
Perusahaan sedang mencoba mengoptimalisasi perbaikan proses dan kualitas produknya. Proses ini Timah lakukan dengan membandingkan teknologi yang dikembangkan di Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) Batan.
Proyek percontohan atau pilot plan tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai pendamping rencana komersial dan menjadi acuan untuk pabrik komersial skala industri. Bersama induk usahanya, PT Indonesia Asahan Aluminium atau MIND ID, perusahaan terus melakukan upaya percepatan pengembangan rare earth.
Teknologi yang digunakan dalam pengolahan logam timah jarang sangat tertutup karena nilainya strategis secara geopolitik. Karena itu, fokus Timah sekarang adalah memilih teknologi dan penyedianya (provider).
Pemilihan teknologi itu menyangkut parameter ramah lingkungan, imbal hasil produk antara atau intermediate hingga hilir, keandalan produk yang terbukti, dan harus bankable. Kemitraan dengan perusahaan lain juga tak sebatas teknologi tapi juga sebagai offtaker produknya. "Sementara kami masih fokus kepada pekerjaan tersebut," ujarnya.
Bagaimana Regulasi Logam Tanah Jarang?
Yarianto menjelaskan regulasi pengembangan rare earth di Indonesia pada prinispnya mengikuti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara atau UU Minerba. Namun, karena sebagian besar logam tanah jarang berada dalam mineral radioaktif (monasit) sehingga diatur pula melalui UU Ketenaganukliran.
Untuk pengembangannya, masih dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengusahaan dan Perizinan Pertambangan Bahan Galian Nuklir yang saat ini sudah selesai harmonisasi dan menunggu diundangkan.
Dalam UU Ominus Law Cipta Kerja pun secara umum sudah diatur untuk mineral ikutan radioaktif. "Sebagian studi tekno ekonomi sudah dilakukan untuk pabrik rare earth oksida (lanthanum, cerium, neodymium), tapi belum komprehensif untuk aplikasinya," katanya.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso berpendapat potensi logam tanah jarang cukup besar karena hampir semua potensi tambang mengandung mineral tersebut. Keberadaannya selalu berada di dalam mineral yang lain.
Ia mendorong regulasi yang mengatur pengembangan rare earth di Indonesia dapat digenjot. "Harus didorong bagaimana pengambilan atau ekstraksi unsur tanah jarang tidak rumit dan mahal," ujarnya.
Saat ini proses perizinannya masih serumit komoditas mineral utama. Dampaknya, banyak unsur tanah jarang yang dibuang bersama limbah lainnya. Para pengusaha tambang tidak mau ambil pusing untuk mengembangkan atau mengolahnya.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpendapat potensi rare earth cukup tinggi. Logam ini dapat bersumber dari magmatik, endapan sekunder atau sedimen, bahkan sampai terdapat dari produk sampingan industri pengolahan.
Pada pemerintahan Kabinet Kerja 2014-2019, logam tanah jarang pernah menjadi komoditas strategis. Tapi pengembangannya belum optimal, bahkan tidak menjadi prioritas. “Pemerintah perlu memiliki time table jelas untuk mengembangkannya secara konsisten,” ucap Singgih.
Perencanaan itu khususnya untuk memetakan gondisi geologi rare earth element (REE), pasokan (sumber daya, karakteristik, analisis teknologi dan ekonomi), industri manufaktur, permintaan, dan riset serta pengembangannya. Dari situ, pemerintah kemudian dapat membuat regulasi yang tepat.
Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengatakan, UU Minerba belum mengatur pengusahaan logam tanah jarang. “Begitu pula dengan UU Ketenaganukliran yang masih menempatkan mineral radioaktif belum dapat dikomersialisasi,” katanya.
Kemunculan UU Cipta Kerja dapat menjadi awal baru pengembangan logam tanah jarang. Di dalamnya tertulis badan usaha milik negara alias BUMN dalam mengusahakan mineral radioaktif. Harapannya, hasil tambang ini dapat mulai dimanfaatkan untuk kepentingan industri pertahanan.
Siapa Produsen Terbesar Logam Tanah Jarang?
Tiongkok saat ini merupakan produsen rare earth terbesar di dunia. Melansir dari Financial Times, tahun lalu Negeri Manufaktur ini menguasai 60% produksi logam tanah jarang dunia. Di posisi berikutnya adalah Amerika Serikat sebesar 12%, menggeser Australia.
Volume impor logam tanah jarang Tiongkok melonjak 74% pada paruh pertama 2020 dibandingkan periode yang sama di 2019. Kenaikan ini terjadi karena banyaknya permintaan dari pabrik peleburan, pembuat magnet, hingga industri kendaraan listrik.
Ketika pembicaraan dagang kedua negara di ambang kehancuran pada Mei 2019, Presiden Tiongkok Xi Jinping datang mengunjungi sebelah selatan Provinsi Xi Jiang. Daerah ini memproduksi rare earth terbesar di negara itu. Banyak analis berpendapat, aksi Xi tersebut sebagai pengingat kepada Presiden Donald Trump siapa yang berkuasa di sektor logam tanah jarang.
Pada 30 September lalu, Trump menandatangani Perintah Eksekutif 13817. Langkah ini sebagai upaya mengembalikan produksi logam tanah jarang ke negaranya. Presiden AS ke-45 itu ingin mematahkan dominasi Tiongkok atas rantai pasokan mineral tersebut.
Logam tanah jarang memuat 17 unsur kimia dalam tabel periodik. Keberadaanya cukup banyak di bagian kerak bumi tapi sulit untuk menambangnya. Proses ekstraksinya butuh teknologi tinggi sehingga biayanya pun tidak murah.
Komoditas tambang yang pertama kali ditemukan oleh Carl Axel Arrhenius pada 1787 ini banyak dipakai untuk berbagai bidang. Mulai dari peralatan elektronik, otomotif, persenjataan, hingga teknologi nuklir. Produk mesin jet, satelit sistem pengarah misil, hingga laser memakai logam tanah jarang. Karena itu, pemanfaatannya di Indonesia menjadi sangat krusial.