Pandemi Covid-19 telah membuat anjlok perekonomian dunia. Aktivitas ekonomi melemah, begitu pula dengan konsumsi bahan bakar.
Dampaknya, pasokan gas alam cair atau LNG domestik menjadi berlebih. Bahan bakar ini mayoritas untuk kebutuhan ekspor sejumlah negara. Hanya sekitar 17% saja untuk memenuhi pasar domestik.
Tiongkok merupakan negara tujuan utama dari ekspor itu. Volumenya pada 2018 mencapai 268,6 juta British Thermal Unit (MMBTU).
Perekonomian Negeri Panda memang berangsur-angsur pulih. Namun, hal ini tak serta-merta dapat menyelesaikan masalah kelebihan pasokan LNG dalam negeri.
Produksinya akan bertambah banyak pada 2021 hingga 2024 karena banyak proyek LNG mulai berjalan. Lalu, pembeli setia gas ini dari Jepang alias Western Buyer Extention atau WBX memutuskan mengakhiri kontrak pembelian pada akhir Desember 2020.
Direktur LNG IHS Markit Chong Zhi Xin mengatakan dunia pun bakal banjir LNG dengan banyaknya proyek yang berjalan. Indonesia butuh kontrak jangka panjang untuk mendukung pasokannya. “Negara ini akan bersaing dengan Rusia, Mozambik, dan lainnya,” ucapnya dalam acara International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas, Kamis (03/12).
Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk mempercepat penyerapannya di dalam negeri. Salah satunya melalui program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) di sektor transportasi.
Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nanang Untung mengakui produksi LNG nasional saat ini tak seimbang dengan penyerapannya. Hal ini membuat produksinya berlebih, bahkan sebelum target 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 terealisasi.
Untuk menjual LNG di pasar spot, pemerintah menemui kendala. Harganya lebih rendah ketimbang menjual untuk domestik. Di dalam negeri, kisaran harga gas adalah US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU). “Jadi, banyak tantangan untuk pasarkan gas ini,” kata Nanang.
Pemerintah bersama SKK Migas sedang menggenjot kemampuan dalam negeri menyerap potensi gas. Tak terkecuali pembangunan infrastrukturnya, seperti pipa gas dan terminal LNG, hingga revitalisasi program konversi ke BBG.
Sebenarnya program konversi tersebut sudah berjalan lama. Bahkan Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2015 tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga BBG untuk transportasi jalan.
Namun, pelaksanaannya tertatih-tatif. Sempat ada kendala mahalnya converter kit untuk mengubah bahan bakar kendaraan dari bensin ke gas. Masalah lainnya, soal jumlah stasiun pengisian BBG yang masih minim.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemanfaatan gas untuk bahan bakar di sektor transportasi selalu di bawah target. Pada 2013, volume gas yang terserap untuk transportasi sebesar 3,21 miliar British Thermal Unit per hari atau hanya 71,3% dari volume terkontrak. Penyerapan gas untuk transportasi di tahun berikutnya lebih jauh lagi di bawah target, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.
Program itu seolah hanya menjadi diversifikasi bahan bakar saja. Kondisinya berbeda ketika pemerintah melakukan diversifikasi dari minyak tanah ke elpiji. Regulasinya lebih mengikat sehingga masyarakat pun mau-tak mau mengikutinya.
Nanang menyebut pemerintah saat ini tengah berupaya supaya program ini dapat berjalan kembali dengan baik. Target pasarnya cukup besar dan memberi dampak pula pada pengurangan impor BBM dan emisi karbon.
Hitungannya, potensi pasarnya mencapai 11,3 juta bus dan truk, 17 juta mobil, serta 31,3 juta kapal. Pada tahun depan misalnya, seluruh armada Pertamina dan angkutan umum di Jabodetabek dapat dikonversi ke BBG.
Target berikutnya kemudian meluas ke armada angkutan seluruh badan usaha milik negara (BUMN), pelabuhan, pertambangan, dan angkutan dalam pabrik hingga mencakup wilayah tertentu di 2025 hingga 2030. "Kami berharap konsumsinya bisa mencapai 250 juta standar kaki kubik per hari untuk angkatan darat dan 399 juta standar kaki kubik per hari untuk angkatan laut," kata dia.
Converter Kit dan Infrastruktur Harus Memadai
Direktur eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan program konversi dari BBM ke BBG sudah berjalan beberapa tahun tapi praktiknya jalan di tempat.
Sudah banyak kendaraan yang mengubah mesinnya agar dapat berbahan bakar gas. Padahal, biaya untuk memperoleh converter kit cukup mahal. “Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi pengusaha transportasi jika ingin program ini berjalan," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga perlu bekerja sama dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) agar kendaraan angkutan umum yang mereka produksi sudah menggunakan converter kit. Dengan begitu, konsumen tak perlu lagi mengeluarkan biaya penggantian mesin bahan bakar.
Penyediaan bahan bakar gas pada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) perlu ditambah. Pasalnya, banyak SPBU yang menyediakan gas bumi terkompresi atau CNG yang tutup dan tidak jelas operasionalnya. “Jika memang pemerintah serius, maka sekarang mulai disiapkan SPBU dan perusahaan pembuat converter kit-ny,” ujar Mamit.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) Jugi Prajogio mengatakan pemerintah sedang mengebut pengerjaan infastruktur gas. Termasuk di dalamnya pipa transmisi dan distribusi, prasarana LNG dan CNG, fasilitas regasifikasi dan moda pengiriman serta transportasi lainnya.
Tiga proyek pipa gas sudah masuk dalam Proyek Strategis Nasional atau PSN. Ketiganya adalah Cirebon-Semarang alias Cisem, Sei Mangke-Dumai, dan West Natuna Transportation System (WNTS)-Pulau Pemping. Tapi hingga kini seluruh pembangunan proyek ini belum terealisasi.
Konversi BBM ke Gas Tak Signifikan Dongkrak Serapan LNG
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat program konversi BBM ke BBG skalanya sangat kecil. Angkanya tidak sebanding untuk dikaitkan dengan masalah pengembangan pasar gas domestik untuk mengatasi oversupply pasar LNG.
Dalam hal ini pemerintah mestinya bicara gas itu untuk memenuhi kebutuhan industri, baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku. Termasuk di dalamnya untuk listrik. "Jadi skalanya dapat naik dua hingga tiga kali lipat dari penyaluran gas saat ini," kata dia.
Dalam mengantisipasi pasokan LNG yang melimpah, pemerintah hanya perlu konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan energi. Pasar gas dalam negeri merupakan kunci jika ingin bauran energi tercapai.
Dengan fokus pada pasar dalam negeri, produksi LNG jadi relatif independen dan tidak terlalu terpengaruh dinamika pasar global. “Untuk bisa mengembangkan pasar domestik kuncinya di ketersediaan infrastruktur dan kebijakan harga yang tepat,” ujar Pri Agung.
Sependapat dengan hal itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat agar program konversi berdampak perlu dilakukan secara masif. Pasalnya produksi gas dalam negeri sekarang mencapai 5 miliar standar kaki kubik per Hari.
Karena itu, infrastruktur penyaluran gasnya harus memadai agar dapat mendorong konsumsi. “Infrastruktur, kuncinya di situ,” kata dia.
Tak hanya transportasi, banyak potensi sektor lainnya yang dapat melakukan konversi dari BBM ke BBG. Misalnya, pembangkit listrik dan industri.
Vice President Strategic and Investment Pertamina Daniel Syahputra Purba mengatakn kebutuhan gas domestik akan naik. Konsumsinya saat ini masih 15% dalam porsi pemakaian bahan bakar fosil. Angkanya Bakal naik menjadi 33% di 2035.
Pertamina telah mengklasifikasikan tiga skenario pasar untuk gas, yaitu untuk transportasi, rumah tangga, dan industri. Untuk transportasi, konsumsinya akan stabil hingga tahun itu sebesar 25 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) karena arah industri otomotif menuju elektrifikasi.
Lalu, kebutuhan rumah tangga targetnya akan mencapai 30 juta sambungan pada 2035. Jaringan gas ini akan menjadi alternatif elektrifikasi rumah tangga nasional. Pertamina memproyeksi penyalurannya sekitar 700 juta standar kaki kubik per hari.
Terakhir, kebutuhan untuk gas industri penetrasi akan lebih besar. Kebutuhannya terutama untuk sektor kelistrikan, kilang petrokimia, manufaktur, dan lainnya. Hal ini juga ditopang dengan target bauran energi pemerintah di 2030 untuk menggantikan bahan bakar batu bara.
Proyeksi penyaluran gas industri akan mencapai 8.958 juta standar kaki kubik di 2035. "Apabila berjalan dengan baik dan regulasi mendukung, konsumsi gas akan meningkat signifikan ke depan," kata dia pada Senin lalu.