Kawasan Industri Teluk Bintuni, Papua Barat, akan memiliki pabrik pupuk. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, PT Pupuk Indonesia (Persero) telah mendapat penugasan untuk melaksanakan proyek tersebut.
Rencana pembangunannya sedang masuk tahap persiapan. Pemerintah berharap langkah ini dapat mendorong pemanfaatan gas alam yang melimpah di Teluk Bintuni.
Selain pabrik pupuk, pemerintah juga akan membangun pabrik petrokimia. Pupuk Indonesia juga yang akan melaksanakannya. “Kami akan memanfaatkan gasnya melalui BUMN (badan usaha milik negara),” ujar Arifin dalam acara Bintuni Energy Forum 2020, Senin (28/12).
Teluk Bintuni telah masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020. Salah satu proyek yang sedang pemerintah kebut di kawasan industri tersebut adalah pembangunan kilang gas alam cair (LNG) Tangguh Train 3.
Arifin menyebut pembangunannya sempat molor karena pandemi Covid-19. Dari target tahun ini, operasional kilang baru akan berjalan pada kuartal ketiga 2021. Nilai investasinya mencapai US$ 9 miliar (sekitar Rp 127,6 triliun dengan kurs Rp 14.182 per dolar AS).
Pemerintah sedang beralih memanfaatkan energi nasional tak sebatas komoditas belaka tapi menjadi modal pembangunan. Penggunaannya sebagai komoditas ekspor mulai pemerintah kurangi. Pemanfaatan untuk domestik akan naik, termasuk melalui hilirisasi.
Ia menyebut cadangan minyak dan gas alam (migas) di wilayah Indonesia Timur masih banyak. Namun, baru 30% yang tereksplorasi dari 10 sumur. “Pemanfaatannya belum maksimal karena tantangan geografis, komplesitas geologi, dan minimnya infrastruktur,” ujarnya.
Teluk Bintuni Masih Sulit Listrik
Sejak pengapalan komersial pada kuartal kedua 2009, LNG Tangguh memang lebih banyak untuk ekspor. Keberadaannya belum mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran di Papua Barat.
Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani mengatakan provinsinya masih kekurangan listrik. “Padahal, sudah berton-ton gasnya menyalakan listrik di negara lain,” ucapnya.
Ia berharap sumber daya alam Teluk Bintuni tak seperti air mancur. Airnya memancar ke daerah sekitar, tapi tidak ke sumbernya. “Hal-hal seperti ini perlu menjadi sorotan pemerintah pusat,” kata Lakotani.
Hasil LNG domestik sebagian besar untuk kebutuhan ekspor. Hanya sekitar 17% untuk dalam negeri. Tiongkok menjadi negara tujuan utama dari ekspor tersebut pada 2018, dengan volume sebesar 268,6 juta British Thermal Unit (MMBTU).
Proyek Tangguh memproduksi LNG terbesar nomor dua terbesar di Indonesia. Kementerian ESDM mencatat total gas alam cair pada 2018 mencapai 19,1 juta metrik ton yang berasal dari tiga kilang, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw menyebut wilayahnya baru 76% yang menerima listrik. Sebagian besar yang mendapatkannya di wilayah perkotaan. Sementara di pedesaan masih mendapat suplai pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dari pemerintah daerah. “Kami ingin mendapatkan listrik yang memadai dari pembangkit gas,” katanya.
Sampai saat ini pembicaraan untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) masih berlangsung dengan PLN. “Kami penghasil gas, kenapa tidak bisa melakukan itu?” ujar Petrus.
Setidaknya butuh 423 megawatt untuk Kawasan Industri Teluk Bintuni. “Listrik itu ibarat darah untuk investasi,” kata Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan.
Proyek Petrokimia di Teluk Bintuni
PT Pupuk Indonesia sebelumnya mengatakan akan membangun pabrik petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat. Direktur Utama Ahmad Bakir Pasaman mengatakan perusahaan tengah berdiskusi dengan BP Tangguh, selaku operator proyek Tangguh, terkait alokasi gas.
Pembicaraan dengan Genting Oil, selaku operator Blok Kasuri, juga masih berlangsung terkait harga gas. Di kawasan ini, kapasitas pabrik amoniaknya bakal mencapai 2 ribu ton, pabrik urea 2.500 ton, dan pabrik methanol 3 ribu ton per hari. Investasinya, menurut Ahmad akan sangat besar.
Perusahaan petrokimia berbasis di Eropa, Chayil Energy berencana membangun kilang petrokimia di wilayah kepala burung Pulau Papua tersebut. “Rencana investasinya mencapai Rp 28 triliun,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Kawasan Industri Teluk Bintuni rencananya akan mencapai dua ribu hektare, yang terbagi menjadi tiga zona. Zona utama untuk industri migas. Zona berikutnya untuk industri turunan. Dan terakhir adalah fungsi pendukung, termasuk pergudangan, pelabuhan, dan pembangkit listrik. “Kawasan ini akan mulai beroperasi pada 2023,” ujarnya.