Menakar Peluang Kenaikan Produksi dan Ekspor Batu Bara

Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi. Di tengah kenaikan harga batu bara, pemerintah berencana menggenjot produksi dan kuota ekspornya.
11/1/2021, 19.05 WIB
  • Harga batu bara mulai pulih dan pemerintah berencana menaikkan produksi serta kuota ekspornya.
  • Tiongkok sebagai importir batu bara terbesar dunia memegang peran penting dalam pergerakan harga batu bara di 2021.
  • Kenaikan harga batu bara dianggap hanya sementara sehingga pemerintah tidak perlu bereaksi berlebihan.

Harga batu bara membaik. Setelah terpukul tahun lalu karena penurunan konsumsi di tengah pandemi Covid-19, kini harganya perlahan-lahan naik. Pemerintah lalu berencana menggenjot produksi dan kuota ekspor emas hitam tersebut di 2021. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah sedang mengevaluasi kebijakan kuota tersebut. Kebutuhan dalam negeri tetap menjadi prioritas. “Kalau tren harganya bagus, kami akan evaluasi kembali (kebijakan ekspor),” kata dia pada pekan lalu. 

Target produksi batu bara tahun ini sebanyak 550 juta ton, serupa dengan 2020. Dari angka itu, pemanfaatan untuk domestik atau domestic market obligation (DMO) mencapai 137,5 juta ton atau naik 4,16% dari realisasi tahun lalu. 

PT Arutmin Indonesia yang tahun lalu baru saja mendapat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK memilih tetap mengacu pada rencana kerja dan anggaran biaya alias RKAB yang telah lama. “Kami masih mengikuti rencana produksi yang tertera,” ujar General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani kepada Katadata.co.id, Senin (11/1). 

Begitu pula dengan PT Adaro Energy Tbk. "Panduan untuk 2021 akan kami sampaikan ke publik bersamaan dengan laporan kuartal empat 2020," ujar Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan kondisi harga batu bara yang membaik menjadi kesempatan perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya. "Tentunya sejalan dengan strategi masing-masing perusahaan dan kendala-kendala yang dihadapi," ujarnya.

Perusahaan dapat mengajukan revisi RKAB di pertengahan tahun ke pemerintah untuk dievaluasi. Semua kontrol itu sekarang berada di pemerintah pusat. “Sejalan dengan ditariknya pemberian izin pertambangan dari daerah ke pusat,” kata Hendra. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru-baru ini menetapkan harga batu bara acuan (HBA) mengalami kenaikan 27,14% atau US$ 16,19 per ton menjadi US$ 75,84 per ton dibandingkan Desember tahun lalu.

Kenaikan ini membuat pergerakan harganya menuju level psikologis baru setelah mengalami tekanan sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19. Rata-rata HBA di tahun 2020 hanya sebesar US$ 58,17 per ton yang terendah sejak 2015.

Pada awal Januari 2020, harga batu bara dibuka pada angka US$ 65,93 per ton. HBA sempat menguat sebesar 0,28% di angka US$ 67,08 per ton pada Maret dibanding Februari yang sebesar US$ 66,89 per ton. Namun kemudian terus melorot pada April hingga September dan sempat menanjak dalam tiga bulan terakhir, periode Oktober-Desember. Berikut Databoks pergerakan harga batu bara pada tahun lalu.

Penerimaan dari Sektor Minerba Akan Tumbuh

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan permintaan komoditas tambang berpeluang naik seiring pulihnya perekonomian Tiongkok, pasar utama ekspor batu bara RI. Harganya pun akan ikut terkerek naik. 

Proyeksinya, tahun ini penerimaan negara, khususnya sektor mineral dan batu bara alias minerba, dapat tumbuh positif di kisaran 10% sampai 15%. Angkanya, mengacu pada realisasinya sampai November 2020, sekitar Rp 20 triliun sampai Rp 21 triliun. Tahun lalu penerimaan negara dari sektor minerba mengalami kontraksi hingga 20%. 

Ekspor tambang merupakan penyumbang ekspor terbesar kedua di negara ini, setelah produk industri. Karena itu, dengan peningkatan ekspornya maka ikut mengerek sektor pertambangan. “Belum lagi proporsi pajaknya. Pertambangan merupakan lima besar sektor penyumbang pajak terbesar di Indonesia,” kata Yusuf. 

Dalam proses pemulihan ekonomi tahun ini, menurut dia, pemerintah pasti melakukan segala upaya untuk mendorong penerimaan negara. Ekspor masih diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih positif. 

Melansir data Bloomberg, harga emas hitam ini sempat menyentuh rekor tertinggi US$ 85,5 per ton pada tahun lalu. Analis sekaligus pendiri Ellen May Trade (EMTrade) Ellen May mengatakan koreksi tersebut masih wajar dari harga terendahnya pada September sebesar US$ 48,50 per ton.

Ellen memperkirakan komoditas batu bara memiliki potensi melanjutkan penguatan dari 2020. Faktor utamanya adalah permintaan dunia yang akan mulai pulih setelah vaksin Covid-19 ditemukan dan disuntikan.

Tiongkok sebagai importir batu bara terbesar dunia dinilai akan memegang peranan penting dalam pergerakan harga batu bara di 2021. Keberhasilan Negeri Panda dalam mengangkat ekonominya dari kejatuhan akibat Covid-19 menjadi kunci utama pergerakan batu bara.

Pemerintah Dinilai Tak Konsisten

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat pemerintah tidak memiliki visi mengenai transisi energi dan pembangunan ekonomi. Kondisinya bertambah parah dengan apabila pemerintah mengeksekusi kenaikan produksi dan kuota ekspor batu bara.  

Padahal, cadangan batu bara domestik hanya 2% dari persediaan global. Tapi ekspor dari indonesia merupakan salahs atu yang terbesar. “Ini menunjukkan cara berpikir kita yang pendek,” ujarnya. 

Di saat bersamaan pemerintah juga sedang mendorong produsen batu bara melakukan gasifikasi menjadi dimethyl ether alias DME. Proyek ini harapannya dapat mengganti sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap elpiji atau LPG yang kebanyakan produk impor. 

Tata mengatakan program gasifikasi bukanlah solusi. Kehadirannya justru memperlambat transisi energi ke baru terbarukan di Indonesia. 

Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil telah menunda transisi energi. Karena itu, bukan langkah yang tepat menggenjot produksi dan ekspor batu bara. “Pemerintah harus menarik investasi bernilai tambah tinggi dan hijau atau ramah lingkungan yang akan menjadi tren masa depan," kata dia.

Bertentangan  dengan Perpres 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan melalui Peraturan Presiden alias Perpres Nomor 22 Tahun 2017 yang telah menetapkan produksi batu bara dibatasi 400 juta ton per tahun mulai 2019. Namun, realisasinya pada tahun lalu mencapai 556 juta ton dan target 2021 adalah 550 juta ton. 

Selama dua tahun berturut-turut pemerintah telah melanggar aturan tersebut. “Pelanggarannya cukup serius dan menunjukkan pemerintah tidak konsisten dan taat hukum,” kata Fabby. 

Laporan Badan Energi Internasional atau IEA memperkirakan akan ada kenaikan permintaan komoditas tambang itu pada 2021 sebesar 2,6% dibandingkan tahun lalu. Namun, kenaikannya masih di bawah angka 2019. Permintaan batu bara meningkat seiring proyeksi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara naik 3% sepanjang tahun ini dibanding 2020.

Untuk harga batu bara, kenaikannya saat ini terjadi karena disrupsi produksi di Tiongkok dan melonjaknya permintaan dari negara-negara yang mengalami musim dingin. Faktor suspensi impor batu bara dari Australia ke Negeri Panda juga menjadi pemicu pulihnya harga tersebut. 

Dengan semua kondisi itu, Fabby berpendapat, tren kenaikan harga batu bara bersifat sementara saja. Pemerintah tidak perlu bereaksi berlebihan dan mengikuti kemauan produsen batu bara. 

Pemerintah perlu memikirkan pengendalian produksi dengan mempertimbangkan tren jangka menengah dan panjang. Keputusan menaikkan produksi akan berdampak pada meningkatnya risiko stranded asset dan risiko finansial apabila harganya kembali jatuh. 

Fabby berharap kelebihan dari produksi batu bara tidak membebani perusahaans etrum negara. "Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai PLN diminta untuk menyerap kelebihan produksi batu bara domestik kalau ekspor turun atau melandai," ujarnya. 

Soal hilirisasi, ia mengatakan batu bara yang cocok untuk proyek ini hanya berkalori rendah dan tidak dapat diekspor. Dari hasil kajian lembaga yang ia pimpin, keekonomian hilirsasi tersebut masih problematik dan berisiko tinggi. 

Ada potensi pemerintah mengeluarkan subsidi yang lebih besar daripada impor elpiji. Pertamina sebagai penyerap atau offtaker produk dimethyl ether akan menghadapi risiko finansial. "Terutama kalau harga elpiji di masa depan di 2024 dan seterusnya mengalami penurunan," ujarnya. 

Reporter: Verda Nano Setiawan