Era Emas Migas Berlalu, ExxonMobil dan Chevron Sempat Bahas Merger

Dok. Chevron
Ilustrasi. ExxonMobil Corp dan Chevron Corp sempat membahas untuk melakukan merger pada awal 2020.
Penulis: Sorta Tobing
1/2/2021, 13.53 WIB

Dua raksasa minyak asal Amerika Serikat, ExxonMobil Corp dan Chevron Corp, sempat membahas untuk melakukan merger pada awal 2020. Namun, rencana ini batal di tengah jalan karena pemegang saham Exxon memberikan strategi baru. 

Sumber Reuters menyebut tekanan terhadap industri migas di tengah pandemi Covid-19 mendorong penggabungan tersebut. Konsumsi bahan bakar minyak melemah karena beberapa negara melakukan lockdown. Harganya sempat anjlok parah pada pertengahan tahun lalu, bahkan menyentuh minus.

Pembicaraan antara CEO Exxon Darren Woods dan CEO Chevron Mike Wirth ketika itu cukup serius. Kedua perusahaan bahkan telah menyusun dokumen hukum untuk melaksanakan merger tersebut. Exxon dan Chevron, yang memiliki kapitalisasi pasar masing-masing sebesar US$ 190 miliar (sekitar Rp 2.666 triliun) dan US$ 164 miliar (Rp 2.301 triliun), menolak berkomentar tentang ini. 

Saham Exxon dan Chevron anjlok pada 2020 terimbas perang harga minyak Arab Saudi dengan Rusia serta dampak wabah virus corona. Pukulan terparah terjadi pada saham Exxon. Para investornya sampai menyuarakan kekhawatiran tentang profitabilitas jangka panjang perusahaan. 

Penggabungan keduanya bakal menghadapi rintangan signifikan. Para pesaingnya sudah pasti mengkhawatirkan monopoli dari aksi Exxon dan Chevron. 

Ditambah lagi, anggota parlemen AS, terutama Partai Demokrat, akan menolak rencana tersebut. Salah satu agenda utama Presiden AS Joe Biden adalah pencegahan perubahan iklim dan melakukan transisi energi dari fosil ke baru terbarukan.  

Merger itu gagal karena pemegang saham Exxon mengeluarkan arahan strategis. Engine No. 1, sebuah kongsi investasi berbasis di San Fransisco, minggu lalu menominasikan empat direktur masuk ke direksi Exxon. Perusahaan juga meminta Exxon untuk membelanjakan uang dengan lebih baik, mempertahankan dividen, dan berinvestasi ke energi bersih. 

Esok hari, Exxon akan melaporkan hasil kuartal keempatnya. Sedangkan Chevron pada pekan lalu mengejutkan publik dengan kerugian kuartal keempat sebesar US$ 11 juta. Margin bahan bakarnya menurun, lalu ada tekanan dari biaya akuisisi, dan efek mata uang asing menekan hasil pengeboran. 

Raksasa Minyak Dunia

Penggabungan Exxon-Chevron hanya dapat dikalahkan oleh Saudi Aramco. Perusahaan energi asal Arab Saudi ini memiliki nilai pasar sekitar US$ 1,8 triliun. 

Fortune Global 500 merilis daftar perusahaan energi dengan perolehan laba terbesar sepanjang 2019. Saudi Aramco memimpin dengan US$ 88,2 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan perusahaan-perusahaan lainnya di sektor yang sama.

Terlepas dari kekhawatiran antimonopoli yang tak terhindarkan, penggabungan Exxon-Chvron menjadi upaya terbaik dalam menghadapi dominasi Saudi Aramco dan perusahaan minyak lainnya. 

Perang harga minyak Saudi-Rusia tahun lalu, misalnya, menyoroti kerentanan produsen energi AS terhadap pemerintah asing yang mendikte harga minyak mentah. Selama ini perusahaan minyak AS bersaing satu sama lain dengan campur tangan terbatas dari pemerintah. 

Exxon dan Chevron bernasib lebih baik. Neraca keuangannya masih kuat dan dapat bertahan di tengah gejolak pasar energi. Banyak perusahaan migas yang lebih kecil di AS telah mengajukan perlindungan kebangkrutan. 

Untuk dapat bertahan, kedua perusahaan telah menghentikan aktivitas eksplorasinya selama setahun terakhir. Exxon bahkan pada akhir tahun lalu membiarkan angka dividennya datar, setelah sejak 1982 selalu meningkatkan pembayaran ke pemegang sahamnya.