Pemberian izin usaha pertambangan hanya dalam waktu tertentu ternyata menimbulkan persoalan. Perusahaan menjadi tidak optimal dalam mengelola sumber daya alamnya dan cenderung tergesa-gesa.
Karena itu, Direktur Utama Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID, Orias Petrus Moedak, mengusulkan agar operasi tambang tidak dibatasi. “Jangka waktu pengelolaan ini mempengaruhi bagaimana kami mengelolanya,” ujarnya dalam Webinar Sosialisasi Kebijakan Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (11/2).
Dengan izin operasi tambang, misalnya, hanya 20 tahun, perusahaan tambang menjadi tidak maksimal dalam proses penggalian. Akibatnya, penambang hanya menggali komoditas berkadar tinggi dan meninggalkan kadar rendah, lantaran tidak menarik secara keekonomian.
Pemanfaatan sumber daya alam pun menjadi tidak maksimal. “Kami pasti akan melewati tambang yang kadarnya rendah,” ucap Orias.
Pemerintah dapat membuat izin tambang yang berlaku seterusnya, tidak terikat waktu. Meskipun ada kekhawatiran skema ini dapat berpotensi membuat tambang mangkrak, namun pemerintah dapat mengevaluasi aktivitas produksinya. "Kalau tidak aktif, izin dicabut,” katanya.
Opsi seperti itu, menurut dia, jauh lebih menarik. Hasil tambang pun dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Relaksasi Royalti Nikel
Dalam kesempatan tersebut, Orias juga mengusulkan adanya relaksasi royalti nikel, seperti pada batu bara. Komoditas nikel proyeksinya akan cerah. Barang tambang yang dulu kurang diminati itu, kini menjadi primadona.
Perubahan tersebut seiring keinginan pemerintah menggenjot industri kendaraan listrik. Nikel menjadi komoditas penting karena perannya sebagai bahan baku pembuatan baterai listrik.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, pemerintah memberikan royalti 0% bagi produsen batu bara yang mau melakukan hilirisasi. “Apakah ini dapat berlaku juga ke nikel kadar rendah?” kata Orias.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 penerimaan royalti untuk nikel terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, bijih nikel. Lalu, produk nikel hasil pemurnian. Terakhir, windfall profit ketika harga nikel matte di atas US$ 21 ribu per ton. Kisaran royaltinya antara 2% (untuk produk pemurnian) sampai 10% (untuk produk bijih nikel).
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengakui sejauh ini belum ada prioritas relaksasi royalti nikel. "Saya kira ini kritik yang baik untuk melangkah ke depan," ucapnya.