Keekonomian masih menjadi tantangan besar proyek hilirisasi batu bara. Di saat yang sama Indonesia juga sedang melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih.
"Aspek keekonomian adalah tugas besar yang harus kami selesaikan," Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaludin dalam webinar, Selasa (9/3).
Peningkatan nilai tambah batu bara sebenarnya sudah dibahas oleh para pakar sejak dua dekade silam. Namun, proyek ini tidak pernah terealisasi karena industri pertambangan batu bara saat itu menghadapi banyak kendala mulai dari regulasi hingga teknologi. “Kita sangat lamban dalam konteks peningkatan nilai tambah sumber daya alam,” katanya
Padahal, cadangan batu bara Indonesia besar. Angkanya mencapai 37 miliar ton, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 62 tahun ke depan.
Pemerintah, menurut Ridwan, kini bertekad agar proyek yang kerap disebut gasifikasi batu bara itu terwujud. “Pemerintah sudah tegas dalam regulasi. Badan usaha sangat komit,” ujarnya.
Proyek gasifikasi nantinya akan mengubah batu bara menjadi dimethyl ether atau DME. Gas ini dapat dipakai sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum alias elpiji, yang selama ini mayoritas produk impor.
Salah satu yang akan menggarap proyek tersebut adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bersama PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals Inc. “Total proyek untuk membangun pabriknya sekitar US$ 2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun,” ucap Direktur Pengembangan Usaha Bukit Asam Fuad Iskandar Zulkarnain Fachroeddin.
Pabrik gasifikasi batu bara itu bakal berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Untuk semester pertama tahun ini, perusahaan akan menyelesaikan masalah lahan dan izin lingkungannya.
Targetnya, pabrik gasifikasi dapat mengolah 6 juta ton batu bara per tahun untuk menjadi 1,4 juta ton DME. Pengurangan impor elpijinya mencapai 1 juta ton per tahun.
Proyek tersebut, menurut Fuad, berpotensi tidak hanya menghasilkan dimethyl ether. “Kami sedang menyiapkan industri hilirisasinya. Tapi prioritasnya tetap batu bara ke DME,” katanya.
Harga DME
Soal keekonomian, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Hasto Wibowo menyebut harga DME tidak boleh lebih mahal daripada elpiji. “Kalau lebih mahal, maka subsidi yang pemerintah berikan akan lebih besar,” ujarnya.
Kondisi itu bakal bertentangan dengan tujuan awal gasifikasi batu bara, yaitu untuk mengurangi impor dan subsidi elpiji. Harga DME yang ideal adalah batas bawahnya melindungi investor, sedangkan batas atasnya tidak membebani pemerintah dan masyarakat.
Saat ini pembicaraan mengenai harganya masih terus berlangsung. “Kami harapkan akan mengerucut pada angka yang fair dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak,” kata Hasto.
Rentang harga yang ideal, menurut dia, US$ 330 sampai US$ 420 per metrik ton. “Ini doable,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir harga elpiji rata-rata adalah US$ 470 per metrik ton. Kehadiran DME, harapannya, dapat mendorong industri hilirisasi batu bara untuk menghasilkan produk petrokimia, seperti methanol.
Sebelumnya, studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek gasifikasi batu bara terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.
Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.