Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menilai ditemukannya solar industri yang dijual di marketplace dengan harga jauh di bawah harga jual Pertamina merupakan imbas dari penyalahgunaan solar bersubsidi yang masih marak terjadi di berbagai daerah.
Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira menduga oknum penjual solar murah mendapat pasokan dari kebocoran solar bersubsidi, yang kemudian dijual dengan harga yang jauh di bawah harga pasar.
Laporan BPH Migas pun menyebutkan bahwa salah satu sumber lonjakan subsidi solar terjadi pada angkutan kereta api. Kemudian pada 2019 terdapat laporan telah terjadi 404 kasus penyalahgunaan BBM subsidi, melonjak dari 260 kasus pada 2018.
"Ini juga termasuk rembesan solar subsidi di perkebunan dan pertambangan dimana truk yang harusnya pakai BBM non subsidi tapi pakai solar subsidi," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (9/4).
Potensi kerugian dari adanya praktik seperti ini pun cukup besar karena subsidi tersebut seharusnya diterima rakyat miskin atau pengusaha kecil. Namun malah dinikmati pelaku usaha kakap. "Defisit APBN melebar salah satunya karena kebocoran solar subsidi," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menindak tegas jika ditemukan adanya penyelewengan solar bersubsidi. Terutama solar yang dijual murah untuk industri yang diduga berasal dari solar subsidi.
Sebelumnya, harga jual solar untuk industri ditemukan lebih murah dibandingkan harga resmi yang ditetapkan Pertamina. Di Tokopedia misalnya, solar industri ada yang dijual dengan harga Rp 6.650 per liter.
Padahal, jika mengacu harga jual yang dirilis Pertamina di 34 provinsi di Indonesia pada bulan April ini. Solar nonsubsidi paling murah dijual dengan harga Rp 9.500 per liter.
Sebagaimana diketahui, penyelewengan BBM subsidi pada 2019 membuat jebolnya kuota subsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Realisasi BBM subsidi solar membengkak menjadi 16,2 juta kiloter (kl) dari kuota sebesar 14,5 juta kl.
Anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam juga menilai pengawasan distribusi BBM khususnya solar bersubsidi oleh BPH Migas selama ini tidak efektif. “Jika pengawasan tidak efektif dampaknya pada jebolnya kuota BBM subsidi dan akibatnya beban subsidi dari APBN menjadi meningkat,” kata dia tahun lalu.
Ridwan mengatakan selama ini indikator kinerja BPH Migas selalu dikaitkan dengan besarnya iuran dari Badan Usaha. Padahal yang sangat penting yakni pengawasan terhadap distribusi BBM.
Penarikan iuran justru membuat kinerja badan usaha terhambat, seperti pungutan iuran gas pipa yang ditarik dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN). “Apalagi misalnya PGN saat ini sedang diberikan tugas pemerintah untuk menurunkan harga gas industri,” kata dia.
Menanggapi kritikan DPR pada saat itu Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengklaim selama ini lembaganya telah berkoordinasi dengan kepolisian setempat dalam mengatasi persoalan tersebut. "Polisi sedang menyidik 404 kasus penyelewenangan solar. Kasus ini juga dipantau oleh BPH Migas," ujar Fanshurullah.