Krisis energi dunia semakin meluas. Setelah Inggris, Eropa, Cina, dan India, kini giliran Libanon yang dua pembangkit listrik terbesarnya sempat mati total pada Kamis (7/10) hingga Sabtu (9/10) karena kehabisan bahan bakar. Ini menyebabkan pemadaman listrik massal di seluruh negara tersebut.
Dua pembangkit listrik tersebut yaitu pembangkit Zahrani yang berlokasi di selatan Libanon berhenti beroperasi pada Kamis, sedangkan pembangkit Deir Ammar berhenti beroperasi selang satu hari kemudian atau hari Jumat.
Ketika itu seorang pejabat pemerintah Lebanon menyatakan bahwa kedua pembangkit ini setidaknya akan berhenti beroperasi hingga Senin (11/10) atau bahkan lebih lama lagi.
“Terhentinya operasional kedua pembangkit listrik itu secara langsung mempengaruhi stabilitas jaringan listrik dan menyebabkan pemadaman total, tanpa kemungkinan untuk melanjutkan operasi untuk sementara waktu," kata pejabat tersebut, dikutip dari Reuters pada Senin (11/10).
Namun kedua pembangkit tersebut kembali beroperasi pada Minggu (10/10) setelah militer Libanon sepakat untuk memasok 6.000 kilo liter bahan bakar gas oil yang diperkirakan dapat menjaga pasokan listrik selama tiga hari ke depan.
“Militer Lebanon setuju pada Sabtu malam untuk menyediakan gas oil yang akan didistribusikan secara merata pada dua pembangkit itu,” tulis pernyataan perusahaan listrik milik negara, seperti dikutip Reuters.
Selain itu, Menteri Listrik Libanon Walid Fayad mengatakan bahwa pemerintah juga telah mengamankan pasokan bahan bakar dari Irak yang diperdiksi akan datang pekan ini. Untuk membantu meringankan krisis, Libanon juga telah menerima pengiriman bahan bakar dari Iran melalui Suriah.
Pemerintah Libanon juga tengah merundingkan pasokan listrik dari Yordania dan gas alam dari Mesir dan Suriah. Meskipun perundingan ini kemungkinan akan memakan waktu hingga berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
Bahan Bakar Langka Imbas Krisis Ekonomi
Libanon bergulat dengan krisis energi yang diperburuk oleh ketergantungannya terhadap impor bahan bakar. Sedangkan impor semakin mengering seiring krisis ekonomi yang memburuk, yang membuat nilai tukar pound Libanon terdepresiasi hingga 90% sejak 2019.
Penduduk Libanon selama bertahun-tahun sudah harus berhadapan dengan pemadaman listrik yang dapat berlangsung selama 3-6 jam. Umumnya mereka mengandalkan generator milik sendiri untuk pasokan listrik, namun semakin terkendala dengan ketatnya pasokan.
Namun seiring nilai tukar yang terus terdepresiasi, pemerintah secara bertahap menaikkan harga bahan bakar dan solar karena bank sentral mengurangi subsidi nilai tukar untuk impor. Simak databoks berikut:
Pasokan listrik yang tidak menentu membuat rumah sakit dan sejumlah layanan penting lainnya beroperasi dalam mode krisis. Negara ini pun semakin bergantung pada operator swasta yang juga tengah berjuang mengamankan pasokan bahan bakar di tengah anjloknya nilai tukar.
Électricité du Liban, perusahaan listrik yang menyumbang 90% produksi listrik dan distribusinya di negara ini mengatakan bahwa matinya pembangkit listrik pada Sabtu menyebabkan pasokan listrik turun di bawah level 270 megawatt.
Untuk mengatasi masalah listrik ini, bank sentral Libanon dilaporkan telah menyetujui fasilitas pembiayaan sebesar US$ 100 juta atau lebih Rp 1,42 triliun untuk mengimpor bahan bakar untuk pembangkitan listrik.
Walaupun sektor energi Libanon telah banyak menghabiskan uang negara selama beberapa dekade terakhir. Sebagian besar utang pemerintah pun bersumber dari perusahaan ini untuk mengamankan pasokan bahan bakar.
Perusahaan listrik di negara ini membukukan kerugian tahunan hingga US$ 1,5 miliar dan merugikan negara lebih dari US$ 40 miliar selama beberapa dekade terakhir.