Kementerian ESDM mulai serius menindak produsen batu bara nakal yang tak patuh memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Ini menyusul arahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi beberapa waktu lalu yang meminta perusahaan-perusahaan ini dicabut izin usahanya.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batu Bara dan Energi Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengatakan Kementerian ESDM telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait pemenuhan DMO perusahan batu bara.
Ia menjelaskan bahwa perusahaan tambang yang komitmen DMO kurang dari 76%, keputusannya masih akan menunggu hingga tanggal 31 Januari. Jika tidak ada progres hingga 31 Januari, untuk pemenuhan DMO 0% hingga 25% pemerintah akan mengambil langkah untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP).
"Setelah tanggal 31 Januari 2022 akan banyak sekali (perusahaan tambang) yang dicabut izinnya. Kalau dihitung 490 IUP yang posisi (DMO) nol (persen) pada Oktober 2021 rekonsiliasi. Ini info terakhir," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (6/1).
Saat dikonfirmasi perihal pencabutan ratusan izin tambang perusahaan yang tak patuh DMO, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin serta Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Sujatmiko belum merespon pesan yang dikirimkan Katadata.co.id.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mendesak Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan PLN segera bertindak mencari solusi terbaik terkait masalah pasokan batu bara dalam negeri.
Berdasarkan laporan PLN, persediaan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik perusahaan dan juga produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) berada pada kondisi kritis. Jika tidak segera ditingkatkan, maka berpotensi terjadi pemadaman listrik nasional atau blackout.
Penyebabnya adalah tidak terpenuhinya komitmen produsen dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri atau DMO. DMO mewajibkan perusahaan tambang dapat memenuhi kebutuhan batu bara untuk sektor kelistrikan umum untuk menjamin ketersediaan pasokan listrik.
"Mekanisme tersebut tak boleh dilanggar dengan alasan apapun," kata Presiden Jokowi. Menurutnya perusahaan yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat diberikan sanksi. Bahkan tak cukup hanya larangan izin ekspor, kalau perlu hingga pencabutan izin usaha.
"Saya minta Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan PLN segera mencari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan PLN dan industri dalam negeri," ujar dia seperti dikutip melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (3/1).
Pada pertengahan November 2021, PLN sempat merilis daftar perusahaan batu bara yang belum memenuhi DMO untuk periode 1 Januari-31 Oktober 2021. Di antaranya terdapat Adaro Energy, Arutmin Indonesia, serta Musi Prima Coal.
Direktur Utama PLN ketika itu, Zulkifli Zaini, menjelaskan realisasi pemenuhan batu bara untuk sektor kelistrikan umum hingga Oktober 2021 mencapai 93,2 juta ton, terdiri dari kebutuhan PLTU PLN Group 55,5 juta ton dan PLTU IPP 37,6 juta ton.
Dari jumlah tersebut, 41,7 juta ton berasal dari perusahaan pemilik perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), 4,3 juta ton dari pemilik izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP), serta 11,4 juta ton kontrak dengan BUMN.
Kemudian IUP Penanaman Modal Asing (IUP PMA) 2 juta ton, IUP Operasi Produksi 22,98 juta ton, dan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus IUP OPK sebanyak 10,65 juta ton.
"Hingga sampai saat ini, masih terdapat gap atas realisasi dengan kewajiban DMO batu bara," ujarnya dalam RDP bersama Komisi VII DPR, Senin 15 November 2021. Simak databoks berikut:
Dia membeberkan bahwa realisasi DMO batu bara untuk jenis kontrak PKP2B hingga Oktober 2021 masih terdapat selisih yang sangat besar. Dari kewajiban sebesar 66 juta ton baru terealisasi sebesar 41,7 juta ton atau 63,2%.
Berdasarkan catatan PLN, perusahaan PKP2B yang belum memenuhi kontrak penjualan batu bara salah satunya yakni Adaro Indonesia. Dari volume DMO sebanyak 11,1 juta ton hingga Oktober ini realisasinya baru mencapai 7,54 juta ton (67,9%).
Kemudian dari jenis Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) dengan Arutmin Indonesia. Realisasi sampai Oktober 4,3 juta ton dari kewajiban volume DMO sebesar 5,4 juta ton atau 79,6%. Sehingga dalam hal ini Arutmin belum memenuhi kewajiban DMO nya.
Kemudian untuk jenis kontrak selanjutnya IUP PMA dalam hal ini PT Musi Prima Coal. Hingga Oktober realisasi paling rendah, yakni hanya mencapai 2 juta ton dari kewajiban DMO sebesar 7,6 juta ton (26,3%).