SKK Migas mencatat realisasi investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pada kuartal I 2022 baru mencapai US$ 2,1 miliar (setara Rp 30 triliun) atau 16% dari target tahun ini sebesar US$ 13,2 miliar.
Kepala SKK Migas, Dwi Seotjipto, berharap momentum harga minyak yang tinggi dapat memberikan imbal hasil investasi dan keekonomian bagi Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) yang lebih besar dan berimbas pada pemasukan negara yang semakin tinggi.
“Untuk investasi ini ada proyek-proyek yang masih belum berjalan sehingga investasi baru mencapai 16%,” kata Dwi dalam konferensi pers yang dilakukan di Gedung Wisma Mulia, Jakarta pada Jumat (22/4).
Walau ada sejumlah proyek yang belum tergarap, Dwi mengatakan beberapa aktivitas utama hulu migas di triwulan pertama 2022 sudah melampaui capaian pada triwulan yang sama pada tahun lalu.
“Pada triwulan pertama, jumlah pengeboran sumur eksplorasi, sumur pengembangan, workover dan well service lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama tahun 2021,” sambung Dwi.
Berdasarkan data SKK Migas, pada triwulan pertama 2022, tercatat kegiatan pengeboran sumur eksplorasi sebanyak 5 sumur atau mencapai 125 persen dari raihan tahun lalu. Kemudian untuk pengeboran sumur pengembangan mencapai 162 sumur atau tercapai 213%.
Selanjutnya kegiatan workover mencapai 146 pekerjaan atau mencapai 102 persen, serta untuk well service mencapai 7.265 kegiatan atau mencapai 131% dibandingkan triwulan pertama tahun 2021.
Sebelumnya perusahaan migas kakap seperti ExxonMobil dan Chevron pernah menyampaikan hambatan yang mereka hadapi dalam meningkatkan investasinya di Indonesia. Secara umum, perusahaan migas dunia menginginkan agar Indonesia dapat menyeragamkan proses birokrasi lintas kementerian.
Presiden ExxonMobil Indonesia, Irtiza Sayyed mengatakan bahwa sebagai International Oil Company (IOC) ada beberapa faktor yang mempengaruhi minat investasinya di Indonesia. Salah satunya yakni mengenai proses birokrasi lintas kementerian di Indonesia yang masih belum seragam.
Menurut dia kemudahan administrasi dan tidak adanya tumpang tindih kebijakan lintas kementerian dapat sangat mempengaruhi minat para investor.
"Kami menemukan dari waktu ke waktu ada tantangan terutama ketika kita bekerja dengan beberapa Kementerian proyek-proyek kami tidak hanya melibatkan satu Kementerian," kata dia dalam The 9 th US-Indonesia Investment Summit, Rabu (15/12/2021).
Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit, Albert Simanjuntak menilai guna mendongkrak investasi yang lebih atraktif, maka solusi yang diberikan pemerintah jangan hanya solusi jangka pendek. Namun solusi secara jangka panjang yang butuh komitmen dari semua pihak.
Selain itu, dia berpedapat bahwa pemerintah sebaiknya tidak hanya memperhatikan investasi di masa mendatang saja. Namun para pelaku usaha migas yang saat ini sudah beroperasi di Indonesia juga tetap diberikan perhatian agar keekonomian yang didapat masih sesuai.
"Tidak hanya investasi masa mendatang yang harus dilindungi. Tetapi investasi yang sekarang beroperasi juga harus dilindungi," katanya.
Sementara itu Direktur Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan target investasi hulu migas agak cukup berat untuk direalisasikan dalam dua tahun terakhir karena adanya pandemi covid-19 ditambah dengan arah kebijakan perusahaan migas dunia yang mulai mengurangi investasinya.
"KKKS ExxonMobil, Shell, ENI dan bahkan juga Pertamina beberapa waktu lalu untuk memangkas capex (capital expenditure/belanja modal) dan opex (operational expenditure/belanja operasional) nah ini impaknya membuat efek domino," katanya.
Selain itu, tantangan lain dalam industri hulu migas yakni adanya target net zero emissions di sektor energi pada tahun 2050, kemudian daya tarik fiskal yang sedikit menurun. Namun demikian kebutuhan minyak bumi dunia diprediksi akan terus tumbuh.
Sekretaris Jenderal Aspermigas Moshe Rizal mengatakan Indonesia sebaiknya mulai aktif menarik investor migas dengan mempermudah aturan dan menjamin kepastian hukum dan investasi. Sebab perusahan migas dalam negeri seperti Pertamina masih perlu berkolaborasi dengan investor asing untuk pengembangan ekplorasi dan teknologi.
“Perusahaan dalam negeri tidak banyak sekelas international oil company seperti Aramco, dan mereka perlu kolaborasi dengan investor luar untuk mengelola lapangan (migas). Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang tepat dengan insentif dan kepastian hukum,” kata Moshe beberapa waktu lalu, Senin (21/3).