Dinilai Hambat Pemasangan PLTS Atap Warga, Bos PLN Enggan Komentar

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Editor: Lavinda
16/6/2022, 08.05 WIB

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dikabarkan menghambat realisasi penggunaan PLTS Atap di masyarakat. Hal tersebut dilaporkan oleh Anggota Komisi VI DPR, I Nyoman Parta saat agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (15/6).

Anggota Komisi VI dari daerah pemilihan (dapil) Bali tersebut menyampaikan keluhan dari sejumlah perusahaan dan rumah tangga di Denpasar yang merasa dipersulit oleh PLN dalam upaya mereka memasang PLTS Atap.

Nyoman juga menanyakan alasan PLN atas penerapan aturan pemasangan PLTS Atap untuk rumah tangga yang tidak boleh lebih dari 15% terhadap total kapasitas daya listrik terpasang.

"Kami ingin menyampaikan, mumpung ketemu. PLN mengeluarkan aturan bahwa untuk rumah tangga tidak boleh lebih dari 15%. Praktiknya seperti itu. Mereka sudah pasang alat tetapi PLN tidak mengeluarkan izin sehingga banyak yang terbengkalai," tanya Nyoman kepada Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo yang saat itu hadir di ruang rapat sidang.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  khawatir aturan PLN itu menghambat agenda strategis nasional untuk menyediakan sumber listrik alternatif dari tenaga surya. "Resikonya relatif lebih kecil. Cuma apa alasan PLN terjadi hambatan di lapangan?" sambung I Nyoman.

Darmawan yang juga saat itu menjawab sejumlah pertanyaan dari anggota komisi VI yang lain enggan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh I Nyoman Parta. Darmawan hanya mengatakan dirinya akan mengirimkan jawaban secara tertulis.

"Kemudian untuk pertanyaan yang lain mohon izin kami jawab secara tertulis," kata Darmawan, di ruang rapat.

Usai RDP berakhir sekira pukul 18.30 WIB. Katadata menanyakan hal serupa kepada Darmawan. Ditemui di pintu depan Gedung Nusantara 1, Darmawan menolak untuk menjawab saat ditanya apa alasan PLN membatasi instalasi PLTS Atap maksimal hanya 15% dari total kapasitas daya listrik yang terpasang.

"Engga..engga..engga, cukup..cukup," kata Darmawan sembari lari-lari kecil ke arah mobil dinasnya.

 Senada dengan I Nyoman Parta, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) juga menyayangkan sikap PLN yang membatasi instalasi PLTS Atap maksimal 15% dari total kapasitas daya listrik terpasang.

Mereka berharap kepada PLN untuk tidak menghambat keinginan warga memasang PLTS atap di tengah kenaikan tarif listrik bagi kelompok pelanggan rumah tangga mampu.

Dari laporan yang diterima asosiasi, PLN kerap kali membatasi instalasi maksimal hanya 10-15% dari total kapasitas daya listrik yang terpasang. Selain itu, urusan perizinan pemasangan PLTS atap juga dirasa sangat lambat.

"Yang hambat itu izin dari PLN, itu lama sekali. Katanya PLN harus melakukan kajian kelayakan operasi. Aneh juga sih PLTS atap yang rumah-rumah itu harus dilakukan kajian kelayakan operasi, orang itu ukurannya kecil," kata Fabby kepada Katadata.co.id, Selasa (14/6).

Fabby juga menilai pemasangan Net Metering yang dikerjakan oleh PLN juga menghabiskan waktu sampai berbulan-bulan. Net Metering merupakan sistem layanan dimana kelebihan listrik yang dihasilkan oleh PLTS dapat dikirimkan ke jaringan distribusi PLN, serta dapat digunakan kembali untuk konsumsi oleh rumah tangga tersebut.

Artinya, meskipun masyarakt memasang sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga, mereka tetap harus menggunakan jaringan listrik dari PLN.

"Padahal PLN wajib untuk menyediakan Net Metering dan itu sebenarnya dibayar pelanggan. Jadi PLN saya lihat secara sistematis membatasi penggunaan PLTS atap. Ini tidak benar karena mereka yang punya On Grid dan seharusnya tidak begitu," sambung Fabby.

Menurut Fabby, kenaikan tarif listrik untuk kelompok rumah tangga mampu dengan daya 3.500-6.600 Volt Ampere (VA) ke atas dinilai sebagai momentum untuk mendorong pemasangan PLTS atap.

Tarif listrik untuk golongan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) yang berjumlah 1,7 juta pelanggan, dan R3 (6.600 VA ke atas) 316 ribu pelanggan, naik dari Rp 1.444,7 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Dengan begitu, ada sekira 2 juta rumah tangga yang akan mengalami kenaikan tarif listrik sejumlah Rp 255 per kWh.

Fabby mengatakan, 2 juta rumah tangga yang terdampak bisa mengurangi beban biaya imbas kenaikan tarif listrik melalui pemasangan PLTS Atap. Ia menambahkan, masyarakat dapat melakukan penghematan listrik dengan menggunakan PLTS Atap hingga 25-30%.

"Sisanya masih berlangganan listrik dari PLN. Jadi, di satu sisi penjualan PLN tetap tumbuh untuk penggunaan listrik di malam hari," ucapnya. Hingga saat ini, ada sekitar 6.000 pelanggan PLN yang memasang PLTS atap dengan total kapasitas mencapai 53 MW.

Adapun mayoritas berasal dari sektor bisnis dan industri. "Yang rumah tangga itu kecil, rata-rata pasang 2 sampai 3 kWh. Atapnya juga gak cukup," jelas Fabby.

Fabby berharap agar implementasi Permen ESDM Nomor 26 tahun 2021 dapat dilaksanakan oleh PLN. Salah satu yang menjadi sorotan yakni adanya peraturan yang membatasi 10% hingga 15% dari total kapasitas daya listrik yang terpasang. Padahal, ujar Fabby, aturan tersebut tidak tertulis di Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021.

Dalam Permen tersebut hanya diatur soal perizinan dalam Pasal 10 yang menyatakan pelanggan PLTS Atap yang melakukan pembangunan dan pemasangan sistem PLTS Atap dengan total kapasitas lebih dari 500 kilowatt (KW) yang terhubung dalam 1 sistem instalasi tenaga listrik, wajib memiliki izin usaha penyedia tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

"Saya kira masalahnya ada di PLN. banyak yang mau pasang PLTS Atap tapi dihambat oleh PLN dengan segala macam alasan. Net Matering tidak ada, perizinan lama. Ini harus dibereskan oleh pemerintah," tukas Fabby.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu