Produsen baja terbesar Jepang, Nippon Steel Corporation, mempertimbangkan untuk kembali menggunakan batu bara sebagai sumber energi dalam proses produksinya, seiring tingginya harga energi. Nippon Steel berusaha untuk menstabilkan pasokan energinya dengan mengamankan bahan baku utama, yakni batu bara kokas.
Padahal perusahaan ini telah berjanji untuk menjadi netral karbon pada 2050. Untuk mencapai target tersebut, ada dua strategi utama. Pertama, memproduksi baja lebih banyak dari sisa-sisa peleburan, dan kedua mengganti batu bara dengan hidrogen untuk bahan bakar tanur.
Dua strategi ini memiliki kendalanya tersendiri. Untuk memproduksi baja dari sisa-sisa peleburan, Nippon Steel harus beralih menggunakan tanur elektrik yang mahal. Sedangkan strategi kedua membutuhkan investasi besar pada teknologi yang pengembangannya penuh dengan ketidakpastian.
Sementara itu harga batu bara kokas dunia yang menjadi bahan bakar tanur bersuhu tinggi untuk memproduksi logam paduan, telah melonjak ke level tertinggi imbas konflik antara Rusia dan Ukraina. Pelemahan nilai yen semakin memperberat beban produsen baja yang melambungkan biaya produksi.
"Ini adalah dinamika yang mendorong Nippon Steel untuk mempelajari apakah masuk akal untuk berinvestasi lebih jauh pada proyek batu bara," kata General Manager Raw Materials Division Nippon Steel, Kiichi Yamada, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (22/6).
Ini bukan keputusan mudah lantaran sektor batu bara saat ini tengah berada dalam tekanan transisi energi untuk mengurangi emisi karbon dan mencegah pemanasan global.
Saat ini Nippon Steel memiliki saham minoritas pada enam aset batu bara kokas. Sebagian besar aset tersebut berada di Australia, termasuk proyek Moranbah North yang dipimpin oleh Anglo American Plc dengan kapasitas produksi 15 juta ton per tahun.
Yamada sendiri tidak memberikan rincian tentang kemungkinan investasi baru di sektor batu bara. Namun saat ini perusahaan Jepang lainnya, Mitsui & Co., tengah mencari pembeli untuk 20% sahamnya dalam usaha patungan yang mengoperasikan tambang batu bara kokas di Queensland, Australia.
Potensi langkah Nippon Steel untuk lebih gencar di sektor hulu menggarisbawahi bagaimana inflasi harga energi memaksa perusahaan untuk memprioritaskan kebutuhan operasional jangka pendek daripada ambisi jangka panjang untuk mengurangi emisi karbon.
Produksi baja menghasilkan emisi yang sangat tinggi. Cina dan Jepang, sebagai produsen baja terbesar nomor 1 dan 3 di dunia, masing-masing menyumbang sekitar 15% dari total emisi di negara masing-masing.
Cina sudah mulai mencari pasokan batu bara lebih dulu dengan membeli batu bara kokas dari Rusia yang didiskon cukup besar di saat dunia menghindari komoditas energi negara tersebut sebagai sanksi atas perang di Ukraina.
Meski demikian Yamada memperkirakan pasar batu bara kokas tetap ketat. Pasalnya, produksi batu bara kokas lebih sedikit daripada batu bara termal yang harganya lebih murah.
Jepang membeli sekitar 70 juta ton tahun lalu, lebih dari setengahnya berasal dari Australia. Selain itu, pergeseran untuk mencapai target net zero emission mempersulit penambang untuk membiayai proyek-proyek baru.
“Harga batu bara kokas saat ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, dan mengingat peluang terbatas untuk memperluas pasokan, secara struktural sulit untuk menurunkan harga batu bara kokas,” kata Yamada.