Teknologi Batu Bara Bersih pada PLTU Ancam Target Bebas Karbon Jepang
Jepang dinilai bakal sulit mencapai target emisi nol karbon (net zero emission/NZE) sesuai skenario yang dikeluarkan International Energy Agency (IEA) jika masih menggunakan teknologi batu bara bersih pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Hasil penelitian lembaga think tank iklim TransitionZero menyebutkan bahwa teknologi tersebut menghasilkan emisi lima kali lipat lebih tinggi dari tingkat yang dibutuhkan untuk mencapai target NZE. Teknologi ini juga terbukti lebih mahal dibandingkan dengan teknologi energi baru terbarukan (EBT).
Peneliti di TranstionZero, Jacqueline Tao menilai dukungan Jepang terhadap teknologi batu bara bersih akan menghambat upaya keterjangkauan energi, dekarbonisasi, dan keamanan energi.
"Sebaik-baiknya, teknologi ini akan mencapai target pengurangan emisi yang kecil. Seburuk-buruknya, mereka akan memperpanjang umur PLTU batu bara yang tinggi emisi,” kata Tao dalam keterangan tertulis, Selasa (15/2).
Untuk mengetahui perbandingan harga dengan teknologi EBT, TransitionZero menggunakan analisis Level Cost of Electricity (LCOE). LCOE teknologi coal-based integrated gasification combined cycle (IGCC) berkisar US$ 128 per megawatt hours (MWh), sedangkan untuk teknologi co-firing green ammonia US$ 296 per MWh.
Jika dirata-rata, biaya kedua teknologi batu bara bersih tersebut mencapai US$ 200/MWh, atau dua kali lipat lebih tinggi dari proyek solar photovoltaic (PV) atau panel surya. Simak databoks berikut:
Sementara pada 2020, harga proyek solar PV dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) onshore sudah cukup bersaing dibanding teknologi batu bara bersih. Tren ini diproyeksikan akan berlanjut, dan pada 2030 dua teknologi energi terbarukan ini dengan penyimpanan baterai digadang-gadang mengalahkan teknologi batu bara bersih.
Selain permasalahan harga, teknologi batu bara bersih juga tidak sejalan dengan target bebas karbon Jepang. Teknologi canggih batu bara bersih lain yang didorong oleh pembuat kebijakan Jepang, yaitu carbon capture and storage (CCS), juga dinilai tidak efektif.
Menurut Tao, CCS terlihat sebagai solusi yang paling masuk akal untuk permasalahan Jepang. Namun, dengan minimnya ruang penyimpanan geologis Jepang, batu bara dalam bauran energi nasional Jepang bukanlah hal yang masuk akal. Apalagi kapasitas penyimpanan karbon Jepang kemungkinan besar akan habis dalam 10 tahun.
Teknologi IGCC juga dicap sebagai eksperimen gagal. Hal ini terjadi akibat biaya proyek-proyek IGCC terdahulu selalu melambung tinggi dari perkiraan dan anggaran awal.
IGCC harus digabung dengan teknologi CCS dan tetap tidak banyak membantu dalam menurunkan emisi. Sampai saat ini, belum ada pembangkit listrik IGCC dengan CCS yang beroperasi.
Laporan ini menyebutkan teknologi energi terbarukan seperti surya dan angin secara biaya lebih kompetitif dan ramah lingkungan. Sehingga lebih efektif untuk digunakan oleh pemerintah Jepang dalam mencapai target nol-emisinya.
Peneliti TranstionZero, Matt Gray, mengatakan pihaknya mendesak pemerintah Jepang untuk mengkaji ulang peran teknologi batu bara bersih seperti co-firing ammonia dan IGCC. Pasalnya teknologi tersebut tidak dapat memberikan dampak yang signifikan dalam upaya dekarbonisasi energi.
Walau CCS dapat menjadi teknologi penting untuk mendekarbonisasi sektor industri berat, keterbatasan kapabilitas penyimpanan karbon Jepang harus digunakan untuk sektor tersebut, bukan untuk pembangkit listrik.
“Dikarenakan lebih matangnya energi terbarukan, baik secara biaya maupun secara emisi yang rendah, kami menyarankan pemerintah Jepang untuk berpindah haluan dan berinvestasi pada PLTB yang dapat membuka potensi ekonomi baru bagi Jepang untuk jangka panjang,” kata Gray.