Pemerintah masih mengandalkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utama untuk mengembangkan bahan bakar nabati (BBN). Biodiesel berbasis sawit masih menjadi pilihan utama dalam implementasi program mandatori B30 hingga B100.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Edi Wibowo menjelaskan ketergantungan kepada sawit disebabkan oleh beberapa faktor.
Sebagai jenis tanaman penghasil minyak nabati, sawit dinilai sebagai yang paling besar dan paling produktif, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan bakar tidak akan mengganggu pasokan sawit yang diperuntukkan untuk pangan dan industri.
"Sehingga dari sisi keekonomian, sustainability dan feedstocks dapat lebih terjangkau dan terjamin. Hal ini penting untuk memastikan ketersediaan produk dalam jumlah besar dan menjaga rantai pasoknya," kata Edi kepada Katadata.co.id, Rabu (13/7).
Edi mengklaim, biodiesel berbasis sawit sudah teruji baik secara kualitas maupun penggunaannya pada mesin kendaraan dan lebih baik dibandingkan dengan biodiesel berbasis tanaman lain. "Sehingga tanaman sawit perlu dikembangkan budidayanya karena bisa memenuhi kebutuhan industri makanan maupun energi," ujarnya.
Adapun sejumlah tanaman penghasil minyak nabati yang potensial untuk dikembangkan menjadi bahan campuran BBN antara lain kelapa, jarak pagar, kemiri, kemiri sunan, nyamplung, malapari, biji karet, tebu, jagung, singkong dan rumput gajah.
"Semuanya sudah melewati proses uji coba skala penelitian namun yang sudah melewati uji teknis pada mesin dan pernah berjalan secara komersial adalah bioethanol berbasis tebu dan singkong," kata Edi.
Edi mengatakan pemanfaatan biodiesel di Tanah Air masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti keluhan pihak industri pertambangan dan perkapalan karena mengalami penggumpalan saat menggunakan B30. Selain itu, muncul kekhawatiran terkait kestabilan oksidasi dan kadar air yang terkandung dalam B35.
"Penurunan dayanya tidak signifikan, sekira 2%. Nilai kalor Biodiesel lebih kecil dari Solar. Ini bisa diatasi dengan berjalannya waktu. Semoga tidak ada kendala signifikan untuk B35," ujar Edi.
Pemanfaatan bahan bakar nabati diharapkan bisa mengurangi impor BBM fosil secara bertahap. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak mentah Indonesia terbesar pada 2021 berasal dari Arab Saudi, dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai US$ 2,27 miliar.
Volume itu mencapai 32,08% dari total impor minyak mentah Indonesia, yang totalnya 13,78 juta ton. Sementara volume impor minyak tersebut juga meningkat 31,08% dari tahun sebelumnya."Kalau kita gunakan biodiesel, diharap bisa mengurangi produksi Solar dan mengurangi impor minyak fosil yang saat ini masih tinggi," kata Edi.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan konsumsi minyak sawit dalam negeri meningkat pada April 2022. Total konsumsi minyak sawit di pasar domestik sebesar 1,75 juta ton pada April 2022.
Jumlah itu naik 16% dibandingkan pada Maret 2022 yang sebesar 1,5 juta ton. Konsumsi paling besar di dalam negeri, yakni konsumsi untuk pangan sebesar 812 ribu ton pada April 2022. Jumlah itu naik 27,8% dari bulan sebelumnya yang sebesar 635 ribu ton.
Sementara, konsumsi untuk bahan baku biodiesel tercatat sebesar 755 ribu ton. Angka itu naik 8,3% dari bulan sebelumnya sebesar 697 ribu ton. Ini pertama kalinya konsumsi minyak sawit untuk biodiesel lebih rendah daripada untuk pangan sejak November 2021.
Adapun, konsumsi untuk oleokimia pada April 2022 tercatat sebesar 184 ribu ton. Jumlah itu naik 5% dari 175 ribu ton pada Maret 2022.