Pemerintah diharapkan segera membangun hilirisasi industri di dalam negeri sebelum menerapkan larangan ekspor timah balok atau tin ingot karena masih minimnya serapan di dalam negeri saat ini yang hanya 5% dari total produksi.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan kebijakan larangan ekspor produk tambang merupakan langkah positif untuk mendorong hilirisasi dalam negeri. Akan tetapi, langkah tersebut bisa berdampak buruk apabila kebijakan larangan ekspor diterapkan tanpa membangun industri dalam negeri.
Mamit menilai, pemerintah harus lebih selektif dalam memilih komoditas tambang yang siap dan layak untuk dikenakan larangan ekspor. Kebijakan penyetopan ekspor tanpa menyiapkan industri manufaktur bisa berimbas pada tersendatnya rantai pasok.
“Kalau serapannya hanya 5%, lalu tiba-tiba dilarang, ini lantas akan dibuang kemana? Buat apa ada larangan ekspor kalau berdampak negatif, padahal harapannya ada efek berganda dari kebijakan itu,“ kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (27/10).
Mamit menjelaskan, jika serapan dalam negerti tak optimal, operasional sektor kegiatan pertambangan hingga pabrik smelter pembuatan timah batangan akan ikut berhenti sehingga berpotensi menciptakan pengangguran yang berdampak pada macetnya penerimaan daerah dan negara.
“Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan hilirisasi, jika tidak para penambang dan pengusaha smelter timah balok akan terganggu dengan kebijakan ini,“ ujar Mamit.
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan pemerintah bisa menjalin kerja sama antar negara untuk mendirikan pabrik manufaktur pengolahan timah batangan di dalam negeri, seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan.
Dia menilai, penyerapan komoditas tambang hasil hiliriasasi tak boleh hanya dibebankan pada insiatif industri lokal. Pemerintah harus lebih aktif untuk menggandeng perusahaan global untuk menyerap produk timah batangan.
“Saya kira kalau hanya diserahkan ke perusahan domestik tak akan terserap seluruhnya, maka harus ada kerja sama dengan perusahaan asing untuk bangun industri penyerapan timah batangan di dalam negeri,“ kata Ferdy.
Sebelumnya, pemerintah melaporkan serapan timah batangan untuk hilirisasi di dalam negeri saat ini hanya 5%. “Ini PR paling besar ketika perlarangan ekspor tin ingot itu terjadi,“ kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Ridwan Djamaluddin dalam paparannya di Indonesia Tin Conference 2022 di Hotel Grand Hyatt, Rabu (19/10).
Kondisi serapan industri lokal yang minim menimbulkan kekhawatiran potensi limpahan timah batangan yang tak terserap di pasar dalam negeri. Adapun sejauh ini, ujar Ridwan, rencana larangan ekspor timah batangan masih di tahap audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Saat ditanya kapan pelaksanaan larangan ekspot timah balok, Ridwan mengaku tak tahu menahu perihal waktu pelaksanannya. Kementerian ESDM bersama dengan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung msaih mengkaji ulang tata niaga timah untuk mengetahui kondisi riil rantai pasok komoditas tersebut.
“Dari sana kita akan membuat rencana kalau nanti kita larang ekspor tin ingot agar proses ini bisa berjalan lancar. Adapun rencana pelarangan ekspor tin ingot, kami tidak tahu, sepenuhnya kewenangan dan arahan pimpinan," imbuh Ridwan.
Wacana pelaksanaan larangan ekspor timah dalam bentuk ingot atau timah batangan kian santer usai Kementerian ESDM menyusun dokumen kajian untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada medio Mei, Ridwan mengatakan 98% timah batangan yang diproduksi di Indonesia masih ditujukan untuk pasar ekspor. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai eksportir timah terbesar di dunia. Sementara 2% sisanya untuk pasar domestik.
Dengan kondisi tersebut, Ridwan menilai perlu ada investasi yang besar di sektor hilir untuk membangun industri pengolahan di dalam negeri. Industri pengolahan timah di dalam negeri diperlukan untuk mengolah timah batangan yang sebelumnya dikirim ke luar negeri agar bisa digunakan di pasar domestik.
Tahun ini, Pemerintah menargetkan produksi timah sebesar 70.000 ton. Adapun hingga Mei 2022, produksi timah menyentuh angka 9.654,73 ton, dengan penjualan mencapai 9.629,68 ton.