PT Pertamina Hulu Energi atau PHE bersiap mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO). Namun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum menetapkan target dana yang akan dihimpun.
Anak usaha Pertamina itu berencana melepas 10% - 15% saham ke publik tahun depan. "Target pendanaan masih perlu pendalaman," kata Direktur Utama PT PHE, Wiko Migantoro usai Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu (7/12).
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury menyampaikan bahwa dana yang diperoleh dari IPO akan digunakan untuk membayar utang dan belanja modal alias capital expenditure (capex).
PHE memiliki utang US$ 4,5 miliar atau setara Rp 70,2 triliun (kurs Rp 15.600). Sedangkan kebutuhan untuk belanja modal US$ 4 miliar – US$ 6 miliar (Rp 60 triliun – Rp 90 triliun) per tahun.
Besaran belanja modal itu diproyeksikan meningkat menjadi US$ 15 miliar atau Rp 234 triliun pada 2024.
IPO merupakan salah satu upaya perusahaan meningkatkan sumber pendanaan dari luar holding PT Pertamina. Sebab Pertamina kini harus menanggung beban keuangan yang cukup berat.
“Utang US$ 4,5 miliar. Maka IPO jadi suatu kebutuhan bagi PHE untuk menghimpun dana lewat pasar modal. Kalau terlalu bergantung pada utang tidak bagus," ujar Pahala.
Pertamina menanggung pembiayaan bisnis hilir yang dijalankan oleh subholding Pertamina Patra Niaga. Selain itu, dibebankan penjualan BBM bersubsidi oleh pemerintah.
BUMN itu memang untung dari penjualan minyak dan gas (migas). Namun keuntungan ini dialirkan kepada sektor hilir untuk penyediaan BBM, khususnya untuk alokasi pendanaan distribusi BBM bersubsidi.
"Tentu butuh pinjaman juga kepada hilir untuk bisa melakukam distribusi BBM. Ini menjadi prioritas Pertamina untuk memberi kepastian penyediaan BBM," ujar Pahala.