Kejatuhan Harga Minyak Usai Cetak Rekor Tertinggi, Apa Penyebabnya?

Katadata
Ilustrasi pengeboran minyak lepas pantai.
Penulis: Happy Fajrian
9/12/2022, 16.48 WIB

Harga minyak melalui tahun 2022 dengan lompatan-lompatan hingga menyentuh rekor tertingginya sepanjang masa pada Maret 2022 di level US$ 147 per barel. Lonjakan harga salah satunya dipicu permintaan bahan bakar setelah dibukanya kembali ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Selain itu, invasi Rusia ke Ukraina dan pengurangan produksi di negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia dan sekutunya atau OPEC+ menekan pasokan dan melambungkan harga.

Namun menjelang tutup tahun, harga minyak terus merosot jatuh, melepas semua keuntungan yang diperoleh sepanjang tahun ini. Hari ini, Jumat (9/12), Brent diperdagangkan di level US$ 76,31 per barel, sedangkan WTI di level US$ 71,65 per barel, yang merupakan terendah sejak Desember 2021 untuk kedua harga minyak acuan global itu.

Ada beberapa faktor penyebab kejatuhan harga minyak.

1. Tertekannya Permintaan Bahan Bakar

Cina adalah importir minyak mentah terbesar di dunia dan negara konsumen minyak terbesar kedua, kedua setelah Amerika Serikat (AS). Tetapi pada 2022, intervensi ketat pemerintah untuk menahan kasus virus corona benar-benar mengurangi hasil industri dan ekonomi serta permintaan perjalanan.

Menurut perkiraan analis, kebijakan pemerintah Cina ini menekan permintaan minyak sebanyak 30% hingga 40% di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa tersebut.

Sementara itu musim dingin di Eropa, meski lebih ringan dibandingkan musim dingin sebelumnya, turut membatasi permintaan untuk berbagai bahan bakar, termasuk produk sulingan minyak seperti minyak pemanas, yang digunakan untuk pembangkit listrik dan pemanas rumah.

Aktivitas ekonomi secara keseluruhan juga menurun di seluruh dunia, tidak hanya di Cina tetapi juga di Amerika Serikat.

2. Penguatan Nilai Tukar Dolar AS

Untuk memerangi kenaikan inflasi di seluruh dunia, bank sentral memberlakukan serangkaian kenaikan suku bunga yang dimaksudkan untuk mendinginkan ekonomi dan pasar tenaga kerja.

Naiknya suku bunga meningkatkan nilai tukar dolar AS, yang menekan harga minyak karena penguatan dolar membuat komoditas berdenominasi greenback lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

3. Kekhawatiran Kelebihan Pasokan yang Berlebihan

OPEC+ membuat marah Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya pada Oktober ketika setuju untuk memangkas produksi yang ditargetkan sebesar 2 juta barel per hari (bph), atau sekitar 2% dari permintaan dunia, dari November hingga akhir tahun 2023.

OPEC+ mengatakan memangkas produksi karena prospek ekonomi yang lebih lemah, tetapi langkah tersebut tidak menopang harga. Sekitar setengah dari pemotongan OPEC hanya di atas kertas, karena kelompok produsen secara rutin gagal mencapai targetnya.

Sementara itu, produksi AS telah meningkat. Output domestik tumbuh perlahan, tetapi baru-baru ini mencapai 12,2 juta barel per hari, tertinggi sejak gelombang pertama pandemi virus corona pada Maret 2020.

Reli pasar juga dibangun sebagian di tengah kekhawatiran bahwa serangkaian sanksi yang dikenakan pada Rusia oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat akan membatasi pasokan negara tersebut. Meski produksi di Rusia menurun, namun penurunannya tidak secepat yang diperkirakan.

Awal pekan ini, negara-negara demokrasi G7 dan Australia memberlakukan batas harga US$ 60 per barel pada minyak mentah Rusia untuk menghambat kemampuan Rusia mendanai serangan militer di Ukraina.

Namun, minyak Rusia sudah diperdagangkan dengan harga diskon, sehingga kecil kemungkinan langkah tersebut akan mengganggu pasar.

4. Kaburnya Spekulan Pasar

Hedge fund dan pengelola uang lainnya membangun posisi besar dalam kontrak minyak mentah setelah invasi Moskow, tetapi dengan cepat keluar dari pasar, menghilangkan sebagian dukungan untuk kenaikan harga minyak.

Data AS menunjukkan bahwa posisi net long hedge fund dalam kontrak minyak mentah Brent mendekati level terendahnya selama 10 tahun terakhir, dan rasio posisi long terhadap posisi short berada pada level terendah sejak November 2020.