Pengusaha migas menyambut baik rencana pemerintah untuk mengubah aturan pada kontrak bagi hasil gross split untuk mendorong pengembangan migas non konvensional (MNK).
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal, mengatakan bahwa sejauh ini pengusaha migas belum tertarik untuk mengembangkan MNK akibat regulasi gross split yang aturannya masih disamakan dengan pengembangan migas konvensional.
Moshe menilai, pengembangan MNK membutuhkan biaya yang lebih besar dan teknologi mutakhir sehingga membutuhkan regulasi yang lebih lunak. "Belum ada pelaku usaha yang mengarahkan investasi ke MNK karena regulasinya tidak mendukung," kata Moshe kepada Katadata.co.id, Jumat (16/12).
Dia menganggap regulasi gross split yang terapkan pemerintah saat ini tidak mendukung para investor hulu migas yang ingin mengembangkan MNK, salah satunya terletak pada masa ekplorasi atau waktu pencarian minyak dan gas bumi.
Moshe menjelaskan, skema bagi hasil di regulasi gross split saat ini, yang membebankan biaya operasi kepada pengelola blok migas baru akan ditentukan setelah proyek MKN beroperasi atau onstream.
Kondisi ini dinilai menimbulkan kekhawatiran pelaku usaha jika nantinya proses ekplorasi yang mereka lakukan gagal menemukan cadangan migas.
"Jadi resikonya tinggi dari sisi penemuan cadangan dan potensi produksinya. Seharusnya memang dibedakan dengan konvensional. Mestinya bagi hasil atau split sudah ditentukan sejak masa fase eksplorasi, belum ada produksi," ujar Moshe. "Terus terang saja, gross split sekarang ini tidak mendukung fase eksplorasi."
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai pengembangan MNK bisa mengerek capaian produksi migas nasional. Namun, kebutuhan modal yang lebih besar dan penerapan teknis yang lebih rumit dari migas konvensional membuat potensi MNK belum tersentuh hingga saat ini.
Dia berharap, inisitif pemerintah untuk mengubah skema gross split pada pengembangan MNK bisa memancing minta investor untuk mengembangkan potensi lapangan migas tersebut.
"Saya melihat MNK ini seperti anak tiri, benar-benar gak digarap. MKN butuh ngebor lebih dalam, cari shale oil dan shale gas itu gak mungkin di dalam satu formasi yang sama," kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (16/12).
Mamit menambahkan, pendekatan regulasi bagi hasil atau split untuk pengembangan MNK perlu dibedakan dengan aturan pada pengembangan lapangan migas konvensional, mengingat para pelaku usaha atau investor yang harus menghadapi risiko tinggi.
"Ini kan masih eksplorasi semua ya, dengan biaya yang besar paralel dengan ketidakpastiannya yang juga tinggi. Jadi wajar kalau pelaku usaha minta aturan yang dibedakan," ujar Mamit.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), Tutuka Ariadji, mengatakan pemerintah tengah serius untuk mendorong modifikasi skema gross split yang saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 8 tahun 2017.
Tutuka mengatakan pemerintah bakal mengusulkan skema ketetapan kontrak bagi hasil teranyar bernama simplified gross split atau gross split yang disederhanakan.
"Usulan ini yaitu Fixed Split sepanjang kontrak dan bagi hasil sebelum pajak ditentukan di awal kontrak dan bersifat fixed atau statis tanpa penyesuaian komponen variabel seperti pada skema gross split terdahulu," kata Tutuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII pada Selasa (13/12).
Tutuka menjelaskan, skema gross split saat ini membuka opsi penyesuaian setelah adanya verifikasi pada kondisi aktual di lapangan migas. Dia mencontohkan, perubahan pada aspek kedalaman pengeboran dan kandungan karbondioksida atau CO2 di dalam lapangan migas dapat mengubah kontak bagi hasil atau split.
Kondisi ini dinilai sebagai sebuah aturan yang menghambat masuknya investasi pada pengembangan lapangan migas non-konvensional. "Gross split yang ada saat ini hitung-hitungannya bisa berkonsekuensi untuk dilakukan verifikasi," ujar Tutuka.
Tutuka menjelaskan bahwa pengembangan migas non-konvensional harus dilakukan secara khusus lewat pengeboran yang lebih cepat dibandingkan pengeboran lapangan migas pada umumnya. Selain itu, pengelolaan migas non konvensional umumnya membutuhkan kapital yang lebih sedikit di awal masa pengembangannya.
Hal ini dikarenakan ekploitasi migas non konvensional dilakukan di bekas lapangan migas terdahulu sehingga tak perlu mengeluarkan biaya eksplorasi. "Kalau migas non-konvensional seperti shale oil itu di awal kecil kapitalnya, tapi ke depan besar, harus cepat cara ngebornya," kata Tutuka.